Peluncuran Buku Archipelagic State

Peluncuran Buku Archipelagic State
Prof. Hasjim Djalal, Laksda Gunadi, Dr. Makmur Keliat, Begi Hersutanto, MA, Marsda Sagom Tamboen

Blog Archive

Tuesday, May 29, 2007

Kedaulatan NKRI vs Silent Occupation

Lemahnya yurisdiksi terhadap pulau-pulau terluar NKRI menyebabkan timbulnya permasalahan kronis menyangkut kepemilikan, pendasaran yuridis dan wilayah perbatasan. Belum hilang dari memori nasional tentang Sipadan dan Ligitan, Pulau Pasir dan Ambalat, kini beberapa pulau yang berada di NTT seperti Pulau Sturi, Pulau Kukusan, Pulau Bidadari dan Pulau Mengkudu menjadi pergunjingan di DPR, Pemerintah RI dan menciptakan eskalasi pemberitaan secara nasional.

Versted right dan tindakan negara terhadap individu
Hukum perdata internasional memberikan kewenangan bahwa seseorang dapat memiliki hak atas benda (versted right) berupa wilayah, pulau, sebidang tanah, rumah atau kediaman. Hak tersebut dapat dipertahankan secara keperdataan. Setiap orang memiliki kewenangan perdata atas unsur legal kepemilikan menurut hukum yang baik secara nasional maupun internasional. Dalam kasus kepemilikan atas pulau-pulau di NTT, tentu diperlukan tindakan aktif negara terhadap individu apakah warga negara Indonesia (WNI) atau warga negara asing (WNA).

Tindakan Pemerintah Indonesia atas penguasaan pulau-pulau sebaiknya memberikan peringatan lisan atau melakukan pengusiran apabila terjadi penyalahgunaan hak dan pelampauan wewenang oleh pihak asing. Secara hukum nasional, tidak dibenarkan seseorang untuk memiliki, menguasai dan mengadakan perubahan kepemilikan atau pengalihan status atas bumi, air, tanah dan kekayaan alam di dalamnya. Kewenangan hanya dilakukan dalam upaya pengelolaan untuk kepentingan bersama (Pasal 33 UUD 1945).

Jika meruntut kewenangan kepemilikan, maka yang harus dikaji adalah proses bagaimana sehingga WNA mendapat kewenangan untuk menguasai pulau-pulau tersebut. Sesungguhnya pengalihan wewenang ada dalam yurisdiksi pemerintahan terdekat yakni Gubernur, Bupati, Camat, Lurah atau Kepala Desa / Kepala Suku. Kemungkinan yuridis kepemilikan oleh WNA karena adanya kekosongan hukum, sehingga membuka peluang WNA untuk menguasainya. Di sisi lain, ketidak-tahuan masyarakat setempat dalam tindakan menjual atau mengalihkan status pulau mengakibatkan lemahnya Pemerintah RI untuk melakukan tindakan pengusiran atau legal position by state.

Silent Occupation
Kasus kepemilikan pulau-pulau terluar oleh WNA merupakan fenomena yang bukan hanya terjadi di NTT tapi di berbagai pulau terluar di Indonesia seperti Pulau Siladen di Manado, Mentawai dan sebagian pulau di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Jika mau dikaji, tindakan tersebut merupakan tindakan soft occupation / silent occupation yang dilakukan oleh aktor bukan negara, dalam hal ini individu / WNA. Secara hukum internasional teori okupasi dapat saja dibenarkan apabila memenuhi cukup unsur. Pertama; unsur keinginan untuk berada dan melakukan kegiatan terus-menerus dalam kepemilikan suatu daerah tertentu. Kedua; unsur tindakan yang dilakukan negara terhadap suatu wilayah/daerah tertentu dengan kehendak kuat baik lewat invasi militer atau mendirikan instalasi militer di daerah tersebut.
Tindakan penyewaan, pembelian dan pengelolaan pulau oleh WNA menjadi polemik dalam menyikapi otoritas negara terhadap kedaulatannya. Hal di atas dikategorikan sebagai unsur pertama yakni secara soft mind penduduk setempat dan pemerintah di daerah mengakui legalitas kepemilikan WNA. Hal ini sangat berbahaya, apabila kapabilitas WNA atas pulau tersebut menjadi dasar dalam unsur mempertahankan haknya dengan menggunakan hukum negaranya. Sebagai contoh: Pulau Bidadari dikuasai oleh pasangan warga Inggris Ernest Lewandowskski-Kathleen Mitcinson. Hal internasionalisasi tidak tampak saat ini. Tapi, apabila tindakan Pemerintah RI melakukan pengusiran terhadap WNA di pulau-pulau tersebut, maka internasionalisasi dapat berlaku ketika WNA menggunakan hak “British Subject”. British subject adalah pemberlakukan hukum Inggris / commonwealth law atas keselamatan, kepentingan dan kepemilikan warga negaranya baik dalam negara ataupun berada di luar negeri.

Kedaulatan NKRI dan Argumentasi Hukum Internasional
Kedaulatan atau souvereignty berasal dari kata latin “superanus” , berarti “yang teratas”. Pemerintah RI dalam menjaga kedaulatannya memilki hak “yang teratas” sebanding dengan subjek hukum internasional yakni negara. Secara konvensional, kekuatan individu / WNA tak dapat menggantikan atau menisbikan peran negara dalam kasus kepemilikan pulau-pulau tersebut.
Sebelum melakukan tindakan pengusiran, harus ada payung hukum nasional sampai ke pemerintahan daerah. Tindakan polisional, adalah langkah terakhir apabila peringatan negara tidak diindahkan. Pertama: pemerintah RI harus melakukan proyeksi dan proteksi pemetaan (maping) apabila belum mampu melakukan marine cadastre. Kedua: legislatif daerah yakni DPR Provinsi, Kota/Kabupaten yang memiliki kewenangan yuridis berdasar UU No.32 tahun 2004 justru mendapatkan privilege dalam menentukan pengelolaan yang layak terhadap pulau-pulau menurut wilayahnya.
Sesungguhnya, kedua hal di atas cukup memenuhi standar hukum internasional. Pengalaman kekalahan dalam kasus Sipadan-Ligitan, membuat kita belajar bahwa suatu wilayah harus dilakukan tindakan politis - hukum - administratif. Artinya tindakan pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi, Kota/Kabupaten tersebut harus memenuhi unsur yuridis-formal dan politis-administratif.
Meskipun pulau-pulau tersebut saat ini dikelola oleh pihak asing / WNA, tetapi secara hukum, politik dan administrasi pemerintah harus secara konkrit melekatkan kedaulatan penuh / full souvereignty. Wujudnya adalah pemberlakuan Peraturan Daerah Khusus khusus terhadap pulau-pulau tersebut. Dengan demikian asas uti posidetis dan utility memenuhi unsur-unsur argumentasi kepemilikan hukum internasional.
Hal di atas akan membuktikan dua argument aktif yang dilakukan oleh Pemerintah RI. Pertama; Pemerintah RI telah melakukan kewajiban sebagai negara dalam menjaga kedaulatan secara hukum, politik dan administrasi serta wilayah fisiknya atas objek sengketa internasional. Kedua, sebagai negara kepulauan atau archipelagic state, Indonesia memiliki kewenangan yurisdis internasional dalam menarik garis pangkal dari titik-titik terluar pulau-pulau tersebut.

Hal ini berarti meskipun beragamnya kepentingan WNA dalam pengelolaan pulau-pulau tersebut, tapi tidak akan dapat sejauh mungkin untuk mengklaim kepemilikan atas pulau atau perbatasan wilayah tersebut.

Saran dan rekomendasi
Apa yang harus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia? Untuk meminimalisir tindakan silent occupation dan penegakan kedaulatan NKRI maka disarankan perlu dibentuk Badan Koordinasi Pengelolaan Pulau-Pulau Terluar Wilayah RI sebagaimana amanat PP No 48 tahun 2002. Disamping itu, terlepas dari problematika pulau-pulau terluar, sudah selayaknya Pemerintah RI eksekutif dan legislatif dalam hal ini membuat Undang-undang Kawasan Khusus terhadap Pulau-pulau Terluar. Dengan penetapan undang-undang tersebut secara bersamaan akan teregistrasi pulau-pulau terluar dan ribuan pulau yang belum bernama secara nasional.

No comments: