Peluncuran Buku Archipelagic State

Peluncuran Buku Archipelagic State
Prof. Hasjim Djalal, Laksda Gunadi, Dr. Makmur Keliat, Begi Hersutanto, MA, Marsda Sagom Tamboen

Blog Archive

Wednesday, March 4, 2009

Stimulus Somalia, Ancaman Selat Malaka

Gejolak perompakan Kapal Tanker di Teluk Aden Somalia, mengindikasikan musibah tersebut dapat saja terjadi di Selat Malaka. Peristiwa ini menjadi stimulus operasi keamanan laut bagi negara penjaga selat (litoral state) Malaysia, Singapura dan Indonesia. Yang menjadi pertanyaan ke depan, bagaimana upaya keamanan di Selat Malaka atas proyeksi perompakan di Teluk Aden?

Perspektif Ancaman
Ketakutan terbesar negara-negara di dunia adalah serangan terorisme. Paska 9/11 WTC dan Pentagon, seluruh mata publik menilai ancaman terorisme dapat saja terjadi di udara, darat maupun laut. Oleh karena itu, perspektif ancaman juga diarahkan terhadap potensi laut dimana terdapat moda transportasi, angkutan dan pelayaran internasional. Cara berpikir ini selaras dengan kelompok Buzanian yang menempatkan ancaman sebagai perspektif konstruktif dan securitization issues (Barry Buzan: 1998-2001). Kaum Buzanian berpendapat konstruksi isu-isu keamanan jauh lebih penting daripada perlombaan senjata pemusnah massal. Singkatnya, konstruksi ini menghadirkan perspektif ancaman melebihi phobia militerisme dan cukup merusak sendi-sendi hubungan internasional.

Persepsi ancaman Buzanian, secara gradual mengubah peta perpolitikan dan watak militer terhadap kelompok radikal aktif hingga diasumsikan sebagai jaringan terorisme. Mekanisme yang salah tafsir ini melebarkan pihak-pihak yang berkonflik. Contohnya, kondisi dalam negeri Somalia yang hampir tanpa pemerintahan, memaksa kelompok radikal menebar ancaman dan teror di Teluk Aden. Hal yang sama terjadi ketika GAM beroperasi di Selat Malaka, maka reportase publik yang muncul bahwa telah berkembang terorisme maritim di kawasan Asia Tenggara.

Jika menyimak lebih dalam, aksi di Teluk Aden tergolong arms robbery ship yaitu perompakan bersenjata di atas kapal yang dilanjutkan penyanderaan dan permintaan uang tebusan. Karena terjadi berulang-ulang di tempat yang sama, perhatian dunia internasional menempatkannya sebagai isu sekuritisasi bersama. Hal ini menuai reaksi armada kapal perang AS, Eropa dan Arab Saudi berbondong-bondong berupaya membebaskan tanker-tanker yang di bajak perompak asal Somalia. Penelusuran lainnya menunjukkan bahwa sebagian tanker yang di bajak memiliki rute Arab Saudi – Amerika – Uni Eropa. Dengan demikian, jalur pasokan minyak mentah ke Amerika dan Negara-Negara di Eropa terganggu akibat krisis penyanderaan di Teluk Aden.

Kerjasama Tripartite di Selat Malaka
Dari persepsi ancaman di atas, ketika gabungan armada perang berbagai negara bersatu membebaskan tanker-tanker yang disandera perompak Somalia, maka securitization issues tak dapat dihindari. Implikasinya terhadap Selat Malaka adalah masuknya kapal-kapal perang atau armada asing yang ingin mengawal kapal tanker hingga ke daerah yang dianggap aman. Indikasi dan kondisi demikian pernah terjadi pada tahun 2003-2004 di Selat Malaka. Akan tetapi, penolakan negara pantai Malaysia, Singapura dan Indonesia, menghentikan usulan-usulan Kongres AS dan Panglima Kawasan Pasifik AS Laksamana Thomas Fargo.

Sesungguhnya, batas isu-isu keamanan dari arms robbery ship menjadi maritime terorisme masih membutuhkan landasan hukum internasional. Apalagi perbedaan penggunaan konvensi hukum laut internasional (UNCLOS 1982) masih terdapat diantara negara-negara maritim besar seperti Amerika Serikat, Inggris dan Jepang. AS dan Jepang berpendapat bahwa Selat Malaka merupakan jalur sea lanes of communiation yang dapat dilintasi seluruh kapal dengan kewenangan bendera kapal. Padahal, pandangan ini bertentangan dengan geografis Selat Malaka yang bukan high seas melainkan selat yang dimiliki oleh tiga negara, yakni Malaysia, Singapura dan Indonesia.

Selanjutnya, terkait posisi Selat Malaka yang dimiliki tiga negara maka sesuai UNCLOS 1982 setiap kapal yang melintas harus tunduk terhadap aturan yang berlaku. Di samping itu, kewajiban negara penjaga selat dapat memenuhi standarisasi rambu-rambu lintasan kapal di Selat Malaka. Terbukti, selama 30 tahun (1977-2007) Jepang melalui Nippon Foundation bersedia menanggung sepertiga biaya Sarana Bantu Navigasi dan Pelayaran (SBNP) di Selat Malaka. Kerjasama yang intens di Selat Malaka ini telah menghasilkan begitu banyak perjanjian dan fasilitas-fasilitas untuk keamanan pelayaran internasional.

Selain menara pantai, terdapat fasilitas sistem yang disepakati tiga negara pantai dan harus dipatuhi negara pengguna selat. Adapun fasilitas sistem diantaranya: Traffic Separation Scheme, Aids to Navigation, Marine Casualty Affecting Traffic Movement, Mandatory Ship Reporting System, Convention Service in Straits of Malacca and Singapore, Transit Anchorage Area, Signal to be Displayed by Vessels Crossing The Traffic Separation Scheme in The Strait of Malacca and Singapore.

Selain fasilitas SBNP, kerjasama keamanan tripartite telah dilakukan sejak awal oleh Malaysia, Singapura dan Indonesia. Operasi Malsindo merupakan jawaban Angkatan Laut Indonesia, Malaysia dan Singapura dalam meningkatkan kerjasama patroli dan menciptakan keamanan di Selat Malaka. Selain operasi Malsindo, masih terdapat Operasi khusus Indonesia-Singapura (Patkor Indosin), Operasi Malaysia-Indonesia (Patkor Malindo), dan Operasi Optima Malaysia-Indonesia yang melibatkan unsur-unsur Bea Cukai, KPLP, DKP dan Polairud. Selanjutnya, terdapat pula sektor operasi patroli terkoordinasi yang dilakukan dengan negara-negara sahabat seperti India dan Thailand di Selat Malaka.

Posisi Indonesia terhadap Perompakan
Dengan menempatkan kerjasama tripartite baik sistem navigasi dan keamanan di Selat Malaka, posisi Indonesia terhadap perompakan cukup jelas. Hal ini tertuang dalam Jakarta Statement 2005, yang intinya menghargai usaha-usaha kerjasama regional dalam memerangi perompakan dan kejahatan bersenjata di atas kapal, namun tetap menginginkan Selat Malaka sebagai lintasan terbuka yang diakui kedaulatan, hak berdaulat, yurisdiksi dan keutuhan wilayah dari negara pantai hingga kawasan selat menurut aturan hukum internasional/UNCLOS.

Selain menolak Selat Malaka dijadikan laut lepas/bebas, Indonesia menerapkan prinsip-prinsip national indepedence yang mengandung tata-laku negara berdaulat sepanjang Selat Malaka dan Selat Singapura. Prinsip ini terbukti efektif manakala permintaan latihan gabungan militer di wilayah Indonesia khususnya di atas Selat Malaka, hanya diperbolehkan bagi satu negara pantai dan satu negara pengguna pantai. Konsekuensinya, pemegang kendali operasi keamanan masih berada pada haluan negara pantai yakni Malaysia, Singapura dan Indonesia.

Di samping itu, usaha permintaan Amerika Serikat untuk meningkatkan partisipasi dalam kerjasama proliferation seurity inisiative (PSI) ditolak tegas pemerintah Indonesia dengan dalil bahwa keamanan Selat Malaka cukup dibatasi dalam kerjasama tiga negara pantai saja. Hal ini membuktikan desakan kepentingan nasional AS terhadap kasus-kasus perompakan di laut, bukan saja di Teluk Anden melainkan mengincar posisi strategis Selat Malaka. Secara umum indikasi dan urgensitas isu-isu perompakan hanya merupakan terminal bayangan untuk legalisasi konsepsi PSI-AS di wilayah Asia Tenggara khususnya Selat Malaka.

Penutup
Kiranya penting, respon pemerintah RI atas kasus-kasus perompakan di Teluk Aden, Somalia. Proyeksi dan pergesaran ancaman terorisme maritim harusnya didasari fakta di lapangan dan bukan konsepsi semata sebagaimana usaha-usaha mengokupasi Selat Malaka dari isu sekuritisasi mengarah ke internasionalisasi. Kerjasama keamanan tiga negara pantai dianggap masih cukup memadai apalagi ditunjang sistem navigasi pelayaran canggih yang justru difasilitasi oleh Jepang dan AS.

Jadi, sesungguhnya Pemerintah Indonesia tetap berpegang teguh pada prinsip national independece yang mau bekerjasama dengan negara manapun, akan tetapi tetap membatasi ruang kedaulatan dan hak berdaulat di atas Selat Malaka.

No comments: