Peluncuran Buku Archipelagic State

Peluncuran Buku Archipelagic State
Prof. Hasjim Djalal, Laksda Gunadi, Dr. Makmur Keliat, Begi Hersutanto, MA, Marsda Sagom Tamboen

Blog Archive

Friday, April 25, 2008

MYANMAR: HAM, Minyak dan Senjata

Kedatangan utusan khusus PBB Ibrahim Ghambari, menunjukkan masalah Myanmar menjadi sorotan internasional. Kunjungan ini bukan berati tanpa alasan dan kepentingan. Ghambari akan melaporkan hasil kunjungannya pada Sidang PBB tentang Myanmar. Desakan PBB agar Myanmar membebaskan tokoh pro-demokrasi disambut dengan penyelenggaraan Pemilihan Umum. Melalui Pemilu, Myanmar menunjukkan tuntutan masyarakat internasional telah dilaksanakan meskipun tidak melibatkan partai-partai pro-demokrasi dan pembebasan Aung San Suu Kyi.
HAM dan Demokrasi

Dari perspektif di atas, Pemilu Myanmar masih dikendalikan junta militer, terbatas bagi parpol pro-demokrasi dan tidak membebaskan Aung San Suu Kyi. Di pihak lain, rakyat ingin mengecap perubahan politik Myanmar. Pada Konferensi Peranan Masyarakat Sipil ASEAN mendukung HAM dan Demokrasi di Burma (Jakarta 6-7 Maret 2008), menyerukan agar Indonesia mendukung kebebasan demokrasi di Myanmar karena sudah terlalu banyak korban kekerasan yang menderita. Banyak rakyat Myanmar yang dipukul, dipenjarakan, menjadi pengungsi, kelaparan, terlibat penyelundupan serta terserang penyakit TBC di kamp-kamp perbatasan Myanmar-Thailand.

Di balik konferensi tersebut, hal menarik ketika Prof. Juwono Sudarsono menyampaikan pendapatnya sebagai ilmuan hubungan internasional. “Saya sangat optimis, demokrasi di Myanmar akan segera terwujud apabila masing-masing pihak baik Junta Militer dan kaum pro-demokrasi mau duduk bersama mencari solusi untuk negaranya”. Prediksi Prof. Juwono, Myanmar membutuhkan 10 tahun hingga tahap rekonsiliasi, reformasi dan demokrasi sebagaimana Indonesia di awal tahun 1996.

Pernyataan Prof. Juwono jauh berbeda ketika menyarankan para purnawirawan jenderal tidak memenuhi panggilan KOMNAS HAM akhir Maret ini. Oleh karena itu, terinspirasi dari pemikiran Prof. Juwono, sangat memungkinkan Junta Militer atau SPDC (State Peace and Development Council) mengekang terus kaum pro-demokrasi dan HAM. Atau sebaliknya, jika terjadi rekonsiliasi maka pelanggar HAM (para purnawirawan jenderal) tidak menghadiri pengadilan sipil atas kesalahan masa lalunya.
Minyak dan Senjata

Sesungguhnya, kedudukan SPDC menurut beberapa aktifis HAM hampir sama dengan rejim alm. Presiden Soeharto di Indonesia. Myanmar adalah wajah Indonesia 20 tahun yang lalu. Sistem yang sentralistik, terpusat pada pemimpin dan mengekang kebebasan berpolitik adalah wajah besi pemerintahan Myanmar. Anasir-anasir buruk yang menimpa negara kaya akan gas bumi dan sumber daya mineral ini menjadi flashback sistem perpolitikan di Indonesia. Praktek KKN tumbuh subur berkompetisi dengan tuntutan kaum pro-demokrasi. Kecurangan-kecurangan pemimpin militer terhadap otoritas sipil dan keagamaan merupakan parodi Myanmar saat ini. Belum lagi dengan dukungan militer di tengah konflik antaretnis yang membelah Myanmar dan memaksa penduduk mengungsi ke perbatasan.

Hal ini belum cukup, jika menyaksikan SPDC memaksa demonstran tunduk dengan kepala berlumuran darah dan berlutut dibawah sepatu lars militer. Di perbatasan, kemelaratan menimpa penduduk yang dikejar-kejar pihak militer maupun etnis lainnya. Dalam posisi saat ini, SPDC mempertahankan sistem sentralistik-otoriter agar negara tidak ambruk dan terpuruk akibat konflik etnis serta desakan reformasi dalam negeri. Bersamaan dengan hal tersebut, Myanmar yang menjadi titik singgung kepentingan Cina dan Rusia terbelit atas modalitas dan investasi asing yang menggurita atas semua sumber daya alamnya.

Jika ditelusuri, Cina dan Rusia merupakan negara yang membutuhkan pasokan gas dan mineral Myanmar. Sebaliknya, junta militer membutuhkan persenjataan Cina dan Rusia. Oil and arms interest ini, sudah berjalan puluhan tahun. Pada tahun 1990, Cina memasok 100 tank ukuran sedang, 100 light tank, 24 unit pesawat tempur, 250 kendaraan militer, sistem peluncur roket, howitzer, senjata anti pesawat terbang, dan keperluan militer ke Myanmar. Selang empat tahun, Myanmar memesan perlengkapan kapal perang, helikopter, senjata ringan dan artileri. Hal ini ditambah pengiriman 200 truk militer dan 5 kapal perang baru serta kerjasama program pelatihan militer tahun 2002. Pada tahun 2005, 400 truk militer dikirim untuk melengkapi 1500 truk yang dipesan Myanmar.

Sebaliknya, dua perusahaan Cina menandatangani kontrak dengan Pemerintah Myanmar untuk mengelola eksplorasi minyak dan gas pada Blok M di Kyauk-Phru Township dan Blok A-4 di Arakan State. Di samping itu, telah ditandatangani MoU antara Petro Cina dengan Junta Militer Myanmar pada 7 Desember 2005 untuk membangun saluran pipa dari Arakan, Myanmar ke Provinsi Yunan di Cina. Selain Cina, perusahaan nasional Korea Selatan juga memiliki ijin eksplorasi minyak dan gas lepas pantai. Selain kontrak eksplorasi, Kementerian Energi Myanmar melakukan kontrak bagi hasil dengan perusahaan Cina di blok No. C-1 (Indaw-Yenan Region) dan Blok No C-2 (Shwebo-Monywa Region).

Tak hanya Cina, Rusia juga menjadi negara yang menyuplai senjata ke Myanmar. Data terbaru menunjukkan tahun 2002 SPDC memesan 8 unit pesawat MiG-29 B-12 serta menyewa pelatih pesawat tempur dengan total nilai US $130 juta. Sejak 2001, Departemen Pertahanan dan Departemen Ristek Myanmar mengirimkan lebih dari 1500 teknisi mengikuti pelatihan di Rusia. Bahkan lebih dari itu, Myanmar menandatangani program penelitian kapasitas berbasis reaktor nuklir dengan Rusia di tahun 2002.

Bulan April 2004, Rusia dan Myanmar sepakat dalam kerjasama minyak dan gas bumi. Hal ini dilanjutkan penandatangan kerjasama penanggulangan obat-obat terlarang, trafficking, dan kesepakatan kerjasama dalam menjaga informasi rahasia. Di samping kerjasama tersebut, perusahaan Rusia dan India menandatangani kontrak perjanjian bagi hasil dengan perusahaan nasional / BUMN Myanmar pada 15 September 2006 untuk eksplorasi, dan penambangan ekstraksi mineral di Mottama Offshore Block M-8.

Myanmar: Rejim yang Kaku dan Dilematis
Meskipun Cina dan Rusia melakukan kerjasama minyak dan persenjataan, namun posisi Myanmar di tingkat internasional terabaikan. Myanmar justru ditekan komunitas internasional atas pelanggaran HAM berat, memenjarakan tokoh-tokoh politik, memaksa anak-anak menjadi tentara, melakukan perkosaan, pemaksaan terhadap buruh dan memproduksi obat-obatan terlarang.
Pada akhirnya, Myanmar berusaha melakukan rekonstruksi dengan menerapkan Pemilu. Rekonstruksi diharapkan menjadi jalan supaya jasa-jasa dan investasi di Myanmar tidak ditarik oleh pemilik modal. Apalagi adanya ancaman penyegelan rekening petinggi militer Myanmar pada bank-bank asing maupun aset di luar negeri. Isolasi internasional ini menghendaki rejim junta membuka diri atas perubahan sosial politik maupun ekonomi.
Selanjutnya, jika semakin banyak investasi asing maka kekuasaan junta akan sangat bergantung atas produksi sumber daya alam. Sebaliknya, dengan membuka keran demokrasi, kekuasaan rakyat (people power) memaksa Junta pada arus perubahan. Perubahan yang diinginkan kaum pro-demokrasi belum tentu hasilnya demokratis. Reformasi yang tiba-tiba bisa mendatangkan pertentangan dan konflik vertikal maupun horisontal.

Analisis lain mengatakan, jika semakin banyak memproduksi dan menjual sumber daya alamnya, maka dalam sepuluh tahun mendatang Myanmar akan menjadi negara terpuruk di ASEAN yang terlibat konflik perpecahan, perebutan kekuasaan dan kelaparan.

Jadi sesungguhnya yang dibutuhkan Myanmar adalah perubahan yang gradual, bertahap dan konsisten selayaknya Cina di era 70-an. Kekakuan rejim militer, harus mampu menampung aspirasi dan gebrakan kaum pro-demokrasi. Tidak perlu menumbangkan rejim yang sudah berkuasa puluhan tahun, namun pembatasan terhadap keterlibatan militer atas otoritas sipil harus dikedepankan. Malahan, jika rejim militer tumbang akan menyengsarakan masyarakat. Myanmar akan penuh deraan khaotik dan menyeret ASEAN pada konflik internal dalam negerinya.
Kekuasaan Junta yang dilematis tidak harus mempertahankan posisi sebagai pemegang kekuasaan politik dan sipil. Junta harus mengubahnya dengan dengan sistem desentralisasi kekuasaan. Junta juga harus dapat memberikan otonomi khusus bagi pemerintahan sipil dan menyatukan kelompok-kelompok etnis yang bertikai. Hendaknya, Junta Militer menjadi pemersatu bukan penghalang eksistensi etnis dan demokrasi di Myanmar.

Pola-pola Junta sama halnya Daerah Operasi Militer (DOM) atau Opsus di Indonesia. Sesungguhnya, rekaman kekerasan Junta justru menjadi potret Myanmar sedang di ambang kehancuran. Oleh karena itu, di tengah desakan masyarakat internasional junta diharapkan menarik diri secara perlahan dari politik, mereformasi militer dan membangun kepercayaan publik.

Posisi ASEAN atas masalah Myanmar sudah sangat jelas yakni memberikan dukungan dan kesempatan untuk menyelesaikan masalah dalam negeri sendiri. Junta diharapkan meratifikasi Piagam ASEAN dan memberikan suasana sejuk di kawasan. Sedangkan Indonesia telah ikut berkontribusi dan aktif berdialog mencari pemecahan masalah Myanmar saat menerima Ibrahim Ghambari di Jakarta beberapa waktu lalu.

Oleh karena itu, dunia internasional harus memberikan kesempatan bagi Junta Militer/SPDC menyadari kesalahan-kesalahan yang dilakukannya. Alternatif tekanan internasional bukan pilihan terbaik, justru akan menambah sifat represif berlebihan yang menanggalkan nilai-nilai kemanusiaan. Mungkin benar yang dikatakan Prof. Juwono, Myanmar belum butuh fasilitator melainkan butuh waktu memikirkan proses rekonsiliasi dan reformasi menuju demokrasi model Myanmar.

1 comment:

meita fitriani said...

hey...
thanks for this article! sangat membantu gw.. kepake banget utk skripsi gw..
oiyaa,, don't forget to visit my blog.. www.lookmeita.blogspot.com