Peluncuran Buku Archipelagic State

Peluncuran Buku Archipelagic State
Prof. Hasjim Djalal, Laksda Gunadi, Dr. Makmur Keliat, Begi Hersutanto, MA, Marsda Sagom Tamboen

Blog Archive

Friday, April 25, 2008

Silent Operation Malaysia terhadap Indonesia

Setelah ketegangan Ambalat, ancaman di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia melebar dengan adanya ribuan WNI menjadi paramiliter Askar Wataniah (Kompas, 12/02). Apa sesungguhnya yang terjadi di perbatasan sebelah utara Pulau Kalimantan ini? Laporan Tim Perbatasan UI pada bulan Agustus 2007, terungkap bahwa terdapat puluhan titik batas yang bergeser maju ke wilayah Indonesia. Di samping itu, masalah perbatasan juga terpaut dengan illegal logging, illegal mining, illegal transaction, trafficking, immigration, overlapping regulation, transnational economic crimes dan masih banyak lagi aktivitas terlarang yang dilakukan oleh masyarakat setempat, perusahaan transnasional maupun oknum pejabat terkait. Akibat tindak kejahatan tersebut, sangat memungkinkan bagi WNI melakukan penyeberangan dan menjadi anggota paramiliter Malaysia.
Status Kewarganegaraan
Menyikapi penyeberangan WNI ke Malaysia, tentu tidak mudah bagi pemerintah Indonesia memanggil kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Akan tetapi, ada dua opsi yang dapat ditawarkan pemerintah. Pertama, secara aktif Pemerintah RI melakukan identifikasi identitas dan pengelompokan administrasi di perbatasan. Hal ini patut dilakukan dengan memisahkan antarwarga negara dengan warga pendatang. Untuk itu, undang-undang keimigrasian memegang peranan penting dalam penerapan status WNI maupun WNA.
Opsi kedua, Pemerintah RI menawarkan program naturalisasi, asimilasi dan repatriasi bagi WNI yang sudah terlanjur menjadi Askar Wataniah Malaysia. Naturalisasi ditujukan bagi yang tidak ingin kembali dan menetap di Malaysia. Sedangkan asimilasi bertujuan untuk peleburan status kewarganegaraan dan kehilangan status WNI. Untuk WNI yang ingin kembali maka Pemerintah RI bekerjasama dengan Malaysia hendaknya menyediakan program repatriasi atau pemulangan dari negara asal. Dalam hal ini yang perlu digarisbawahi bahwa Indonesia tidak mengenal sistem dwi kewarganegaraan meskipun peluang hukum memungkinkan hal itu terjadi.
Setelah opsi tersebut, langkah yang harus dilakukan Pemerintah Indonesia adalah menutup dan mengawasi pintu lintas batas antara Indonesia-Malaysia. Bagi kepentingan imigrasi dan bea cukai, pengawasan terhadap orang dan barang harus dibatasi baik lamanya ijin tinggal, kuota barang dan aktifitas sehari-hari. Selanjutnya, pihak kepolisian berwenang mengusut warga negara yang bepergian, menetap dan melakukan pekerjaan di wilayah perbatasan. Hal ini bertujuan untuk membatasi proses perekrutan yang akan menjadi gelombang perpindahan penduduk maupun alih kewarganegaraan.
Aktifitas transnasional Indonesia-Malaysia
Selanjutnya, tingginya aktifitas transnasional dapat menyebabkan meningkatnya kejahatan lintas negara maupun penyeberangan warga negara. Berdasarkan investigasi Kodam Tanjungpura ditemukan alat-alat berat pembuatan jalan untuk logging dan adanya indikasi penadahan kayu liar asal Indonesia oleh pabrik perkayuan di Lumbis Complex, Malaysia. Di samping itu, terdapat Sabah Forestry Industry yang letaknya kurang lebih 1 kilometer dilengkapi sarana jalan logging di perbatasan Indonesia. Temuan lainnya adalah Camp Golden Chase Malaysia yang terletak diantara patok batas U 326 hingga U374 dan berjarak 5 kilometer dari sungai yang menghubungkan Indonesia dan Malaysia.
Dengan adanya fasilitas pabrik kayu olahan di Malaysia, maka kejahatan lintas negara berpeluang terjadi terus-menerus sepanjang sumber daya di perbatasan belum habis. Hal ini tentu bisa memicu ketegangan yang akan melahirkan perang secara terbuka antara Indonesia dan Malaysia sebagaimana kasus di Ambalat.
Di sisi lain, penyeberangan WNI menjadi paramiliter bukanlah suatu yang baru di lingkungan Asia Tenggara. Kasus ini terjadi di perbatasan Indonesia-PNG, Indonesia-Australia, Thailand-Myanmar-Malaysia dan Myanmar-Vietnam-Laos. Bahkan penyeberangan warga Vietnam ke Indonesia ketika terjadi perang merupakan exodus manusia perahu besar-besaran yang akhirnya mendapat dukungan PBB. Indonesia tercatat sebagai negara yang sukses menangani pengungsi di Pulau Galang sehingga menjadi pilot project bagi misi UNHCR, lembaga dunia yang menangani tentang pengungsi.
Sampai saat ini juga beberapa negara di Asia Timur seperti Korea Utara-Korea Selatan, China-Jepang, China-Taiwan masih ramai kasus penyeberangan warga negara dengan alasan mencari suaka politik, keamanan, kesejahteraan hidup dan mengakui terdapat pertalian darah atau kekerabatan. Biasanya dalam kasus-kasus penyeberangan lintas negara, kelompok warga tersebut terdesak kebutuhan ekonomi yang tidak terpenuhi di negara asal. Jaminan pemerintah sebagai negara penerima akan menjadi peluang exodus bagi negara berbatasan darat, seperti Indonesia dan Malaysia.
Silent Operation Malaysia terhadap Indonesia
Berdasarkan hal di atas, jika penyeberangan WNI dengan alasan meningkatkan kebutuhan hidup, maka Pemerintah Indonesia tidak perlu khawatir akan hal ini. Contohnya, banyak warga Sangir yang bekerja di Filipina akan tetapi tidak menjadi anggota kelompok atau milisi pembebasan Moro (MILF). Demikian juga kasus penyeberangan 42 warga Papua ke Australia yang dilakukan semata-mata untuk memperbaiki garis hidup dan mencari perlindungan suaka politik.
Alasan lainnya, apabila WNI masih berstatus paramiliter (pasukan cadangan) Askar Wataniah maka kewarganegaraan mereka akan hilang secara otomatis. Hal ini disebabkan paramiliter atau kaum belligerent di mata hukum internasional bukan aktor yang mendapat perlindungan humaniter. Ketika terjadi perang antara Indonesia dan Malaysia, paramiliter tidak mendapatkan perlakuan hak dan kewajiban sebagaimana tentara lazimnya. Dengan demikian, posisi paramiliter menjadi sangat lemah dalam praktik hukum internasional apalagi hukum kerangka hukum nasional.
Yang harus kita dipikirkan bersama, jika Pemerintah Malaysia menyusupkan paramiliter dengan motif ekonomi dan kesejahteraan serta mengeksplorasi sumber daya ekonomi, maka disitulah letak tindakan ‘silent operation’ Malaysia terhadap Indonesia. Tanpa memerlukan sarana alat berat, kehadiran paramiliter yang direkrut dari Indonesia akan memudahkan terjadinya kejahatan ekonomi lintas negara di perbatasan.
Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus jeli dalam memberikan pilihan hukum bagi masyarakat di perbatasan. Penataan perbatasan antarnegara yang melibatkan warga setempat harusnya segera dilakukan. Motif perekrutan WNI oleh Malaysia harus ditanggapi oleh adanya keinginan menguasai sumber daya alam di perbatasan Kalimantan. Jadi, tindakan pengerahan pasukan TNI di perbatasan hanya akan menambah keruncingan hubungan RI-Malaysia. Apabila terlanjur WNI telah menjadi paramiliter Malaysia, maka kondisi masyarakat di perbatasan harus dibenahi sehingga kejadian ini tidak terulang kembali.
Akhirnya, kesadaran dan tanggung jawab semua pihak menjadi dasar tuntutan agar pemerintah segera mengajukan dan menetapkan Undang-Undang Khusus Kawasan Perbatasan Indonesia demi pembangunan dan pengembangan ekonomi masyarakat di perbatasan Indonesia.

No comments: