Oleh: Steven Y Pailah
Sengketa Island of Palmas
Miangas adalah pulau kecil di Samudra Pasifik yang berhadapan langsung dengan Filipina. Masyarakat setempat menamakan Mangiasa yang berarti menangis atau kasihan karena letaknya sangat terpencil dan jauh dari jangkauan transportasi laut. Ada pula yang menyebut Pulau Tinonda yang berarti diseberangkan karena upaya Raja Talaud yang memindahkan atau menyeberangkan beberapa keluarga dari Pulau Karakelang ke Pulau Miangas.
Sejak dahulu Miangas sudah menjadi tapal batas utara bagi Kerajaan Talaud bersama Pulau Napombalu sebagai batas selatannya. Setelah sistem kerajaan berakhir, secara administratif Pulau Miangas menjadi bagian wilayah Pemerintahan Kabupaten Sangihe-Talaud dan kini berkembang masuk wilayah Nanusa - Kabupaten Kepulauan Talaud, Provinsi Sulawesi Utara.
Sengketa Island of Palmas mengemuka antara Amerika-Spanyol melawan Belanda tentang pembagian perbatasan dan daerah kekuasaan. Berdasarkan Traktat Paris 1898, Amerika Serikat mengklaim bahwa Pulau Miangas masuk dalam posisi kotak dan berhak atas kepemilikan pulau tersebut.
Akan tetapi, putusan arbiter internasional DR. Max Huber memenangkan Belanda atas kepemilikan Pulau Miangas. Menurut kajian Weter (1979), DR. Max Huber memperkenalkan konsep “hukum intertemporal” dalam menangani sengketa dimana kaidah-kaidah hukum internasional diterapkan berdasarkan periode dan kasus tertentu. Dalam hal ini bukanlah menyangkut pilihan hukum melainkan karena tidak adanya penerapan secara historis.
Selanjutnya, dalam beberapa kesempatan perundingan bilateral Indonesia–Filipina sering muncul argumentasi yang mempertanyakan kembali status Pulau Miangas. Filipina masih menggunakan dalil bahwa Las Palmas, masuk dalam posisi kotak berdasarkan Traktat Paris 1898 dan hal ini dikuatkan dengan ditemukannya Pardao (tugu peringatan) pendaratan Magelhaens di pulau pada tahun 1512. Di samping itu, konstitusi Filipina masih menyebutkan Las Palmas dalam yurisdiksi dan kedaulatannya.
Argumentasi di atas, dapat ditepis Pemerintah RI berdasarkan penetapan batas wilayah “Kerajaan Kepulauan Talaud” yang menjadi bagian dan tradisi masyarakat setempat. Secara historis, pengakuan batas wilayah Kerajaan Talaud telah terjadi sejak kepulauan Talaud dan Filipina bagian selatan berada di bawah pengaruh dari Kerajaan Tidore. Dalam hal ini, Indonesia harus menggunakan argumentasi historis-politis dan administratif.
Bersamaan argumen di atas, langkah pemindahan sebagian penduduk dan dilanjutkan dengan pembangunan gereja serta pendirian Jemaat Kristen Protestan sebagai bagian dari GMIST (Gereja Masehi Injili Sangihe dan Talaud) merupakan hal yang berguna bagi status Pulau Miangas. Karena ini dianggap sebagai tindakan aktif yang menghadirkan institusi gereja di pulau ini. Bahkan tercatat wilayah pelayanan gereja (GMIST) mencakup Filipina bagian selatan.Klaim politis atas Pulau Miangas, Marore dan Marampit Secara geografis, letak Miangas dan beberapa pulau lainnya di Sangihe Talaud seperti Kawio, Marampit dan Marore memang jauh dari pusat pemerintahan RI dan lebih dekat dengan Filipina. Karena itu, tak mengherankan jika penduduk Miangas lebih intens berhubungan dengan masyarakat Filipina. Apalagi sebagian kebutuhan masyarakat didatangkan dari Filipina.
Pada dekade 1960 hingga 1970-an, hubungan antara Miangas dan Filipina semakin intens seiring dengan adanya kesepakatan tentang batas antara kedua negara. Ironisnya, intensitas hubungan kedua negara tidak mempengaruhi kesadaran nasional warga kepulauan tersebut. Masyarakat setempat lebih mengenal pejabat Filipina ketimbang Indonesia. Hal ini terungkap ketika pada awal 1970-an sejumlah pejabat pemerintah pusat yang menyertai kunjungan Wakil Presiden Sri Sultan Hamengku Buwono IX ke wilayah perbatasan, melihat potret Presiden Filipina Ferdinand Marcos menghiasi rumah penduduk.
Mulai saat itu pula, kehidupan masyarakat perbatasan di Kabupaten Sangihe-Talaud mendapat perhatian lebih dari pemerintah, antara lain dengan membuka jaringan pelayaran perintis ke pulau-pulau terpencil. Betapapun keterpencilan membuahkan penderitaan bagi masyarakat pulau-pulau perbatasan namun mereka tetap merasa sebagai bagian dari bangsa Indonesia, setidaknya dalam pendidikan mereka konsisten berkiblat ke Indonesia. Fenomena ini tentu positif bagi keutuhan bangsa dan negara RI.
Seiring perkembangan waktu, isu Miangas mencuat kembali di awal tahun 2002. Adanya pernyataan yang menilai Pulau Miangas belum sepenuhnya milik Indonesia, mengundang keprihatinan penduduk di pulau yang berdekatan dengan negara Filipina itu. “Kami sangat prihatin akan pemberitaan mengenai Pulau Miangas yang seakan-akan tidak ada mengandung fakta-fakta hukum dari seorang yang dianggap dituakan di daerah, yang dinilai tidak bertanggung-jawab terhadap pulau Miangas sebagai bagian dari wilayah kepulauan Indonesia”.
Sehubungan dengan itu, masyarakat setempat menyatakan bahwa jika demikian halnya, biarlah rakyat Miangas yang bertanggungjawab sendiri kepada PBB. Dalam menanggapi isu bahwa Miangas belum sepenuhnya milik Indonesia, warga menyatakan akan tetap mempertahankan pulau Miangas sebagai milik Indonesia. Karena itu, sebagaimana yang tertuang dalam kebulatan tekad masyarakat Pulau Miangas dan ditandatangani oleh 20 perwakilan masyarakat dari 4 delegasi, dengan tegas menolak penguasaan wilayah perbatasan Indonesia (Pulau Miangas) oleh bangsa lain. Menurut mereka, hal ini bertentangan dengan konstitusi dan Hak Asasi Manusia.
Hampir senada dengan politisi Sangihe-Talaud, sejumlah politisi Filipina yang berada di Davao, Mindanau serta para kalangan akademisi mengangkat isu tentang kepemilikan Pulau Miangas, Marore dan Marampit. Bahkan, seorang Profesor di Universitas Filipina, H. Harry Roque menyatakan putusan pada tanggal 4 April 1928 antara Amerika Serikat dengan Belanda belum final karena Pulau Miangas, Marore dan Marampit termasuk dalam traktat Paris tersebut.
Padahal menurut catatan, pada tanggal 4 April 1928 di atas kapal putih Greenphil perundingan antara pemerintah Amerika dan Hindia Belanda telah memutuskan Pulau Miangas termasuk dalam wilayah kepulauan Nusantara Indonesia sebab ciri budayanya sama dengan masyarakat Talaud. Setelah proklamasi Negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus secara tegas dinyatakan bahwa NKRI adalah dari Pulau Sabang sampai Merauke dan dari Pulau Miangas sampai Timur-Kupang. Hal itu lebih dipertegas lagi dengan diresmikannya tugu perbatasan antara Indonesia dengan Filipina pada tahun 1955 di Pulau Miangas, dimana Miangas tetap berada dalam wilayah Indonesia.
Kiranya, klaim politis yang berkembang saat ini Pemerintah Indonesia tidak perlu khawatir akan terjadi sebagaimana Sipadan dan Ligitan. Setelah pernyataan klaim politis atas Pulau Miangas (2002), jawaban resmi pemerintah Filipina lewat Menteri Luar Negeri Blas F. Ople menyatakan bahwa Miangas yang dalam Peta Filipina disebut Las Palmas, adalah sah milik Indonesia.
Bahkan dalam kesempatan kunjungan tiga hari Menlu Blas F. Ople di Manado (1-3 Mei 2003), menawarkan kerjasama di bidang Keamanan dan Ekonomi mengingat intensitas dan aktifitas masyarakat kedua negara sangat potensial dan sudah terjalin sejak lama.
Pembangunan Wilayah Perbatasan
Berdasarkan Rapat Kerja Menteri Negara PPKTI dengan Komisi IV DPR RI tanggal 2 September 2004, ada beberapa daftar inventaris masalah di perbatasan Indonesia-Filipina.
1.Belum adanya kepastian garis batas ZEE dan landas kontinen Indonesia-Filipina.
2.Berlangsungnya kegiatan-kegiatan ilegal di daerah perbatasan, seperti penyeludupan barang, trafficking, dollar palsu, kapal tidak dilengkapi dokumen yang sah, illegal logging, illegal fishing dan transit point bagi kelompok teroris internasional.
3.Masih lemahnya aspek kelembagaan, personil dan regulasi pengelolaan administrasi perbatasan.
4.Keterisolasian karena rendahnya aksesbilitas dan mobilitas masyarakat akibat tidak memadainya daya dukung prasarana dan sarana komunikasi serta transportasi.
5.Belum optimalnya pemanfaatan potensi kelautan dan perikanan serta pengelolaannya secara lestari.
6.Ketertinggalan dan kesenjangan sosial ekonomi dengan wilayah sekitarnya
Analisis Komprehensif
Sejarah mencatat bahwa pada tahun 1512 Eskader Magelhaens mendirikan semacam tugu peringatan (Pardao) yang hingga kini masih berada di Pulau Miangas apakah sebagai peringatan penaklukan atas pulau tersebut atau kuburan bagi awak kapalnya yang terserang penyakit mematikan pada masa itu.
Tercatat pada perang Asia Timur Raya, Amerika Serikat juga pernah mendirikan pangkalan untuk melawan pendudukan dan pendaratan pasukan Jepang. Hal ini menguatkan dugaan peta politik dunia ketika itu berdasarkan Teori Lebensraum dari Haushofer yang membagi dunia menjadi Pan Amerika, Eropa-Afrika, Rusia dan Asia Timur Raya.
Akan tetapi, pada kenyataannya pengaruh bentangan ideologis menembus pencitraan politik saat perebutan Blok Barat (AS) dan Blok Timur (Uni Soviet). Apabila dikaitkan pentingnya titik pertahanan Pulau Miangas dan Pangkalan AS di Filipina, dilanjutkan dengan Pangkalan di Morotai yang dibangun Jenderal Mc Arthur maka jelaslah bahwa perbenturan kepentingan politik dan militer menjadi nyata hingga kini dan masih berlaku untuk pulau-pulau di wilayah perbatasan yang dapat dijadikan pangkalan transit untuk angkatan perang.
Pentingnya kedudukan Pulau Miangas dalam percaturan geostrategi dan politik internasional sehingga sampai saat ini masih menjadi hot-issue antarpolitisi, pemerintah, pihak militer dan kalangan akademisi. Bahkan di tahun 2004 pihak TNI Angkatan Laut merencanakan akan membangun landasan pacu pesawat di Pulau Miangas.
Mitos dan Sejarah
Kepulauan Talaud merupakan sekumpulan pulau-pulau di Lautan Pasifik yang termasuk di dalamnya Kepulauan Mindanau, Kepulauan Sangihe dan Kepulauan Palau. Jika mengikuti mitos yang beredar mengapa hingga terdapat banyak pulau di wilayah Pasifik tersebut maka berdasarkan tutur cerita rakyat Sangihe-Talaud mengatakan bahwa ada keturunan Raja Langit/Gumansalangi yang turun dari kayangan serta ingin mempersunting gadis desa di wilayah tersebut. Karena di tumitnya penuh kekuatan bara api maka ketika ia menginjakkan kakinya ke bumi, terpencarlah daratan hingga membagi pulau-pulau tersebut yang semula adalah satu.
Secara spesifik teoritik-ilmiah, Program Wallacea pernah mengadakan penyelidikan tentang Tarsius Spectrum (monyet/primata terkecil) dan jenis binatang yang hampir sama terdapat di daratan Filiphina hingga Vietnam dengan jenis yang terdapat di Indonesia (Bitung, Tangkoko). Penguatan tersebarnya pulau-pulau atau kepulauan ini, diduga bahwa pernah terjadi angin topan dari laut yang sangat dahsyat sehingga menubruk dan memisahkan pulau-pulau tersebut.
Hal ini juga bisa disebabkan oleh letusan gunung berapi atau patahan Sirkum Pasifik dengan dibuktikan adanya terusan lempengan Sulawesi dan rangkaian gunung api aktif yang terdapat di Jepang hingga Sulawesi Utara. Bukti lain berdasarkan “Penemuan Kembali Tagaroa” oleh Mayor John Rahasia bahwa telah terjadi migrasi bangsa-bangsa yang terhimpun dari berbagai suku bangsa sehingga membentuk masyarakat hingga saat ini. Adapun Tagaroa diyakini sebagai Tuhan Segala Yang Kuasa yang melindungi penduduk pribumi di kawasan Asia-Pasifik dari Jepang hingga Australia dan Polynesia hingga Hawai dan Pulau Paskah.
Bukti tentang adanya kekuasaan historis-tradisional dengan diyakini bahwa Dewa Tagaroa adalah penguasa samudera dan pulau-pulau di Asia-Pasifik. Dalam tradisi dan keturunan suku bangsa Maori, Selandia Baru, suku bangsa di Papua New Guinea serta Sangihe-Talaud, menganggap bahwa Tagaroa adalah Dewa atau Tuhan Asal Segala Sesuatu.
Selanjutnya, pada masa pelayanan atau zending, Kepulauan Talaud jarang dikunjungi oleh para penyebar agama atau pendeta-pendeta dari Belanda yang datang dari Ternate, Batavia ataupun Maluku. Dengan demikian, usaha penyebaran agama masih sangat langka di awal tahun 1890-an. Diceritakan oleh Penginjil Brilman bahwa nuansa di Kepulauan Talaud sangat berbeda dengan yang ada di Sangihe. Para penduduk setempat masih mempercayai agama animis dan ajaran korban serta darah manusia.
Hal lainnya yaitu menurut penuturan cerita rakyat, silsilah keturunan Raja Makaampo yang berkuasa di Talaud, seorang putranya menikah dengan putri dari Mindanau. Oleh sebab itu, terjadilah hubungan kekeluargaan yang secara nyata tidak ada pemisahan negara sebagaimana yang terjadi saat ini. Sejak dahulu, telah terbina hubungan kekerabatan dan kekeluargaan sehingga nyatalah kalau sekarang ada penduduk Indonesia atau Sangihe Talaud yang melakukan usaha perkebunan kelapa di Mindanau atau kepulauan sekitarnya.
Ideologi
Pulau Miangas sebagai pulau terluar bagian utara, rentan terhadap infiltrasi baik ideologi dan transnational crimes. Secara jelas, Miangas yang telah menjadi bagian Kepulauan Talaud masuk administrasi pemerintahan dan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan mempertimbangkan posisinya, bisa saja terjadi perbenturan ideologi yang berkembang di daerah perbatasan tersebut. Di antaranya pengaruh ideologi Blok Barat Amerika Serikat dengan pernah terdapat Pangkalan AS di Filipina. Hal kedua adalah kedekatan wilayah dengan para pejuang Front Pembebasan Islam Moro-MILF yang berhaluan keras menentang pemerintahan Filipina.
Penduduk Moro banyak memeluk agama Islam dan telah berada jauh sebelum kedatangan bangsa Spanyol. Dengan demikian, pegaruh tarik-menarik antara gerakan pembebasan Moro dan Pemerintah Filipina (Blok Barat), cukup memberikan nuansa aktif dalam pandangan ideologis masyarakat di Kepulauan Talaud.
Politik-kemasyarakatan
Kehidupan politik di wilayah perbatasan khususnya Miangas terdapat traditional element yakni Ketua Tua-Tua Masyarakat (KTM) yang hingga kini merupakan wadah yang sangat disegani dalam mengambil keputusan serta kebijakan untuk masyarakat adat daerah tersebut.
Pembelajaran politik di daerah ini dilakukan dengan hukum adat yang berlaku setempat dan secara eksternal ditunjang oleh program berupa Latsitarda, Kuliah Kerja Nyata mahasiswa Universitas Samratulangi dan Bintal Juang Mandiri atau Summer Class Program oleh Angkatan Laut.
Ekonomi
Keadaan ekonomi masyarakat di Miangas bertumpu pada hasil laut dan kelapa. Saat ini, dengan masuknya nelayan-nelayan asing maka banyak nelayan lokal kekurangan penghasilan dan penangkapan ikan. Usaha BIMP-EAGA tidak mampu menyentuh kehidupan ekonomi masyarakat setempat.
Jika mau dibandingkan Filipina telah mengembangkan sekitar 100 jenis pemanfaatan pohon kelapa dan telah mendapat lisensinya, sedangkan di Indonesia khususnya Sulawesi Utara termasuk Kepulauan Sangihe dan Talaud belum mendayagunakan potensi kelapa sepenuhnya. Perlu dicatat, bahwa ada usaha khusus dilakukan oleh Peneliti UGM (2001) tentang pemanfaatan lemak jenuh dari minyak kelapa (virgin coconut oil) yang dilakukan terhadap 50 petani kelapa di Yogyakarta dengan kualitas terjamin dan memperoleh harga Rp.10.000.-per botol (kajian;2002).
Hal lainnya adalah potensi perikanan dan kelautan. Beberapa waktu lalu, kapal KM Silinco berbendera Korea Selatan meninggalkan Sangihe-Talaud karena diduga pihak Dinas Kelautan dan Perikanan menerapkan retribusi ganda sehingga memberatkan pihak kapal. Padahal harga satuan per kilogram ikan dari masyarakat dibeli dengan Rp.3000.- hingga Rp.4000.- Hal ini menurunkan pendapatan Sangihe hingga kehilangan sekitar 1 milyar rupiah (kajian; 2001).
Dalam hal tranportasi secara ekonomis, masyarakat setempat masih lebih memilih menjual bahan hasil bumi ke daerah perbatasan yang dapat ditempuh 4-5 jam ke Filipina daripada harus menunggu angkutan transportasi laut yang datang 2 minggu sekali dengan memakan waktu satu setengah hari ke Melongwane atau dua hari ke Tahuna. Hal ini belum diperkirakan resikonya apabila terjadi cuaca yang buruk di laut maka kapal tidak akan meneruskan perjalanan ke Miangas dan Marore.
Sosial
Keberadaan di Miangas dalam kehidupan sosial sangat memprihatinkan. Hal ini terbukti dengan hanya ada 1 (satu) Sekolah Dasar dan 1 (satu) Sekolah Menengah Pertama. Dengan jumlah penduduk kurang lebih 120 kepala keluarga, sebagian besar 95% memeluk agama Nasrani dan lainnya 5% memeluk agama Islam. Secara khusus, masyarakat setempat mengharapkan kunjungan pejabat daerah untuk mendengarkan keluhan-keluhan masyarakat di daerah perbatasan. Dana alokasi pusat yang dikhususkan untuk daerah perbatasan kiranya menjadi pemicu untuk mengembangkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. Hal ini hendaknya diberlakukan juga dalam menunjang kehidupan sosial masyarakat Pulau Miangas.
Budaya
Budaya di Miangas sama halnya dengan budaya Talaud dengan rumpun bahasa yang sama, walaupun terbagi dalam sub-etnis bahasa berbeda. Banyak para generasi muda yang sudah lulus Sekolah Menengah Pertama meninggalkan kampung halaman dan memilih bekerja di Mindanau ataupun melanjutkan studi di Tahuna dan di Manado. Hal ini menjadi kebiasaan turun-temurun. Di samping itu, kehidupan yang penuh tantangan alam menjadikan masyarakat Miangas sebagai pekerja keras dengan totalitas kerja yang lebih dibandingkan dengan pekerja lainnya.
Masalah yang terbentang adalah kemampuan berupa ketrampilan profesional belum dapat menunjang penampilan fisik yang prima dari masyarakat Miangas.
Hankam
Rencana akan dibangunnya Landasan Pacu oleh TNI Angkatan Laut merupakan suatu perencanaan strategi militer yang dapat menunjang Pos Keamanan Angkatan Laut (Posal). Hal ini menjadi bagian dari gugus terdepan wilayah pertahanan-keamanan yang berpusat di Bitung-Lantamal VI.
Operasi Angkatan Laut misalnya Trisila dan Operasi Hiu Macan merupakan usaha mempertahankan kedaulatan negara dari perompakan, pencurian ikan, jalur kelompok teroris dan penyeludupan barang.
Saran dan Tindakan
Masalah perbatasan Indonesia–Filipina hendaknya disikapi serius, mengingat kerentanan dan kompleksitas tantangan yang ada. Untuk memperkuat kedudukan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia maka diperlukan :
1.Sekolah Menegah Atas dan Sekolah Kejuruan. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan. Potensi Akademi Maritim Indonesia di Bitung dan Sekolah Tinggi Kelautan dan Perikanan di bawah Departemen Kelautan dan Perikanan harus ditingkatkan dengan membuka kelas bagi para pelajar dan siswa-siswa di daerah perbatasan. Hal ini telah menjadi Program Menteri Negara PPKTI (Kabinet Pemerintahan yang lalu) dalam membuka sekolah kejuruan di Perbatasan NTT–Timor Leste demikian juga Sarana Perpustakaan Budaya dan Pengetahuan yang akan dikembangkan di Sekolah-Sekolah Perbatasan Papua dan Papua New Guinea. Di samping itu, di wilayah Barat terutama di Batam rencananya akan dibangun Universitas Maritim Indonesia yang berkelas internasional dengan 16 program studi tentang kelautan, navigasi, hukum laut dan sebagainya. Hal ini belum terlihat di bagian Timur Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan usaha Departemen Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dan Pemda Kabupaten Kepulauan Talaud untuk merealisasi hal tersebut, setidaknya pembangunan Sekolah Menengah Umum dan Sekolah Kejuruan Maritim.
2.Kebijakan regulasi yang tumpang-tindih harus diwaspadai sebagai kelemahan hukum nasional. Apabila terjadi perbenturan Undang-Undang Perairan Nasional dengan Undang-Undang Otonomi Daerah tentang hak Pemerintah Daerah Kota atau Kabupaten tentang pengelolaan wilayah laut sejauh 12 mil maka disarankan kepada DPR Kabupaten Talaud untuk membuat Ranperda dan nantinya dijadikan Perda diantaranya mengatur tentang hak-hak nelayan lokal di daerah perbatasan laut dan di wilayah ZEE. Hal ini berfungsi ganda yakni sebagai kekuatan politis-administratif dan yurisdiksi pengamanan di laut. Mengapa hal ini berfungsi sebagai kekuatan politis-administratif? Dalam konteks pengelolaan pemerintahan di daerah perbatasan, harus diberlakukan asas efektivitas dan uti-posidetis. Sebagaimana kasus Pulau Sipadan-Ligitan, Mahkamah Hukum Internasional lebih menerima klaim Malaysia berdasarkan pemberlakuan kewenangan dan pengelolaan terus menerus sehingga walaupun Indonesia berpatokan pada 13 peta kuno tentang wilayah tersebut, tetap klaim Malaysia yang dimenangkan. Hal lainnya adalah yurisdiksi keamanan di laut, apabila telah disusun Peraturan Daerah Tentang Pemanfaatan dan Pengelolaan Lingkungan Laut, maka akan lebih mudah menertibkan nelayan asing dan meningkatkan kebutuhan ekonomi nelayan lokal.
3.Pembangunan landasan pacu saat ini pada tahap pembayaran ganti rugi kepada hak tanah adat dan tanah milik rakyat. Apabila pembangunan instalasi pendukung militer ini selesai, apakah akan membawa peningkatan ekonomi bagi masyarakat setempat? Sesungguhnya, penyediaan sarana-prasarana umum sangat dibutuhkan masyarakat daerah tersebut berupa dermaga untuk menunjang lalu-lintas jasa kapal dan tempat penjualan hasil bumi. Disarankan apabila dibangun sarana militer sebaiknya didahului oleh sarana fasilitas umum berupa Tempat Pelelangan Ikan, Jalur Jasa Laut dan moda angkutan laut. Hal ini untuk menjaga kesenjangan sosial yang nanti akan timbul manakala pembangunan dilaksanakan dan rakyat tak dapat menikmati pertumbuhan ekonomi sesudahnya.
4.Sebagai kawasan transit point yang diduga menjadi jalur kelompok teroris, satuan pengamanan di laut harus ditingkatkan dengan mengadakan tindakan polisional berupa sweeping laut. Hal ini harus didukung oleh sarana yang canggih berupa satelit yang mampu memancarkan sonar ke radar yang mendeteksi kapal-kapal asing atau lokal yang secara khusus telah dipasang pin untuk pelayaran internasional. Hal demikian telah dilakukan dalam pemantauan satelit di Kepulauan Arafura. Apabila sistem penginderaan jarak jauh tersebut berfungsi maka alasan ketersediaan kapal patroli akan berkurang karena dengan mengetahui titik kapal yang melewati batas perairan tanpa ijin, dokumen tidak lengkap dan tidak memiliki pin register, akan dengan mudah dapat ditangkap berdasarkan hukum yang berlaku.
5.Penyediaan fasilitas militer di perbatasan dapat didukung dengan Pembentukan Koramil di Pulau Miangas dan Marore mengingat pada hasil Sidang Sub Komite antara Delegasi Indonesia dan Delegasi Filipina pada 27-30 September 2004 di Hotel Gran Puri Manado, dalam Sidang Sub. Komite A banyak membahas tentang Pos Lintas Batas (PLB) dan Patroli selain kegiatan intelejen. Penempatan fasilitas militer tersebut sangat strategis mengingat situasi dan kondisi Pulau Marore dengan Tabukan Utara tempat kedudukan Koramil 1301-07 sekitar 69 mil dengan jarak tempuh angkutan laut sekitar 7 s/d 8 jam. Jarak Pulau Miangas dengan Kecamatan Nanusa tempat kedudukan Koramil 1301-15/Nanusa sekitar 75 mil, dengan jarak tempuh angkutan laut sekitar 8 s/d 9 jam.
6.Koordinasi pengamanan di laut hendaknya ditingkatkan. Menyangkut pengelolaan dan pemanfaatan hasil laut dilakukan oleh pihak berwenang sesuai undang-undang, maupun kewenangan menjaga yurisdiksi dan kedaulatan di laut demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
1 comment:
Thank you for the information mr.Steven
Post a Comment