Peluncuran Buku Archipelagic State

Peluncuran Buku Archipelagic State
Prof. Hasjim Djalal, Laksda Gunadi, Dr. Makmur Keliat, Begi Hersutanto, MA, Marsda Sagom Tamboen

Blog Archive

Thursday, May 15, 2008

Archipelagic State Tantangan & Perubahan Maritim

Penetapan ZEE Indonesia-Filipina

Steven Y Pailah

Indonesia, Filipina, Fiji dan Mauritius adalah delegasi yang mempertahankan konsep Archipelagic State atau Negara Kepulauan dalam Sidang Konvensi Hukum Laut Internasional sejak tahun 1973 hingga tahun 1982. Secara umum, hubungan Indonesia-Filipina sangat bersahabat apalagi ketika pemerintahan Presiden Gloria Macapagal Aroyo di Filipina bersamaan dengan pemerintahan Presiden Megawati di Indonesia. Hal ini dikarenakan hubungan lama antara Presiden Macapagal – Soekarno yang keduanya merupakan ayah Gloria dan Megawati.

Akan tetapi, secara teknis hubungan kedua negara masih terdapat masalah batas perairan dimana belum ada perjanjian yang mengatur tentang batas Zona Ekonomi Eksklusif sebagaimana amanat pasal 55 sampai dengan 75 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Konvensi Hukum Laut Internasional 1982.
Di samping itu, beberapa waktu lalu pada bulan Desember 2002 Filipina melakukan intervensi pada Sidang International Court Justice (ICJ) tentang Kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan di Den Haag-Belanda. Alasan Filipina harus dilibatkan karena akan berdampak pada putusan ICJ yang nantinya mempengaruhi garis batas ketiga negara Indonesia, Malaysia dan Filipina. Namun permohonan tersebut ditolak ICJ dengan alasan intervensi terlambat dilakukan dan tidak pada tempatnya.

Sementara itu, usaha Pemerintah Indonesia-Filipina secara teknis telah dilakukan lewat pertemuan antar Pejabat Tinggi Pemerintahan dan Panglima Angkatan Bersenjata serta pihak-pihak yang berkompeten. Adapun usaha ini merupakan lanjutan kerjasama bilateral yang telah dibangun jauh sebelumnya. Tercatat beberapa perjanjian perbatasan diantaranya Border Crossing Agreement pada 14 September 1965, Border Trade Area (1971) yang dilanjutkan dengan Joint Border Committee (JBC).

Berdasarkan larangan penangkapan ikan di perairan Indonesia oleh nelayan asing, telah ditandatangani Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Filipina 10 Januari 1976. Ketika itu, usulan Filipina untuk memasukkan klausul traditional fishing trade area ditolak oleh Pemerintah RI. Akan tetapi, pada tanggal 12 November 2001, Pemerintah Indonesia-Filipina mengadakan Memorandum of Understanding (Government to Government) dimana isinya berupa kerjasama Perikanan Kapal Bendera Filipina di ZEE Indonesia. Pada intinya, kerjasama ini bertujuan untuk mengendalikan masuknya nelayan asing ke wilayah dalam (nelayan lokal).

Selanjutnya, terkait masalah Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia (2003) yang mengakibatkan kekacauan, penangkapan dan pemulangan yang dilakukan Pemerintah Malaysia, Pemerintah Indonesia berusaha meminimalisir masalah di luar negeri khususnya di Filipina. Tercatat bahwa terdapat 7.641 orang undocumented Indonesian citizen yang tersebar di Sarangani, Davao, Oriental, Davao del Norte, Davao de Sur, Central Mindanou, Agusan dan Bukidon (data: 2002).

Untuk itu, pihak Konsulat Jenderal RI di Davao melakukan program repatriasi atau pemulangan, legalisasi ijin tinggal dan naturalisasi atau integrasi ke masyarakat lokal. Berdasarkan sensus undocumented citizen oleh Konjen RI di Davao ditemukan 1783 orang memilih repatriasi, 3672 orang memilih legalisasi dan 256 orang memilih naturalisasi. Sedangkan 1158 orang belum menentukan pilihannya (data; 2002). Terkait masalah di atas, usaha diplomasi antara pihak Indonesia-Filipina harus dilakukan terus menerus, mengingat belum adanya kesepakatan tentang batas-batas wilayah ZEE di perbatasan. Kendali kewenangan kedua negara masih berdasarkan pada hasil-hasil pembahasan antara kedua belah pihak lewat Border Crossing Agreement ataupun kesepakatan yang telah dilakukan sebelumnya.

Pertemuan Teknis Perbatasan
Pertemuan Komisi Perbatasan Antar Wakil Ketua yang ke-24 di Manado pada tanggal 27-30 September 2004 merupakan usaha yang telah dilakukan secara rutin di tingkat Panglima Angkatan Bersenjata dengan Filiphines Armed Forces. Pertemuan ini dalam rangka menindaklanjuti Pertemuan Bilateral Tingkat Tinggi Antar Kepala Negara yakni Presiden RI Megawati Sukarnoputri dengan Presiden Filipina Gloria Macapagal Aroyo di Istana Merdeka 12 November 2001. Hasil Pertemuan Tingkat Kepala Negara tersebut mengakui ketidakjelasan batas wilayah ZEE antara Indonesia-Filipina yang telah menyebabkan banyak masalah.

Dalam Bab V Konvensi Hukum Laut Internasional, telah diatur tentang Zona Ekonomi Eksklusif. Penerapan hukum tentang penarikan lebar zona ekonomi eksklusif, diakui kedua Kepala Negara menjadi hambatan bagi Indonesia-Filipina untuk membahasnya bersama-sama. Padahal jika mau dilakukan, usaha melalui pertemuan bilateral dan pertemuan Komisi Khusus, telah memakan waktu yang cukup lama sejak diumumkannya UNCLOS di tahun 1982.

Apakah Pemerintah Indonesia-Filipina tidak berniat untuk membahas dan menetapkannya dengan jelas dan pasti sehingga tidak ada kekosongan hukum dalam zona perbatasan yang nantinya akan membawa dampak luas seperti sekarang ini? Kiranya peluang untuk menentukan batas perbatasan ZEE sudah tepat untuk saat ini, mengingat perangkat hukum internasional telah menjamin kemungkinan akan hal tersebut.

Perlu diingat sebagai referensi, bahwa pertemuan bilateral 12 November 2001, Pemerintah RI dan Filipina telah mengadakan Memorandum of Understanding (Government to Government) yang isinya berupa Kerjasama Perikanan Kapal Berbendera Filipina di ZEE Indonesia. Hal ini sesungguhnya merupakan kelemahan diplomasi yang dilakukan oleh Pemerintahan Indonesia. Jika kita melihat ke belakang, ada Perjanjian Extradisi yang dilakukan Indonesia–Filipina pada 10 Januari 1976. Pada saat itu, delegasi Filipina berusaha memasukkan salah satu klausul traditional fishing trade area dengan maksud supaya pelayaran tradisional dilindungi dan memberikan hak-hak nelayan Filipina di jalur perdagangan. Dengan demikian, usulan yang ditolak pada tahun 1976, setelah 25 tahun yakni tahun 2001 akhirnya diterima dengan diadakannya MoU di atas. Bukankah ini merupakan kelalaian dan inkonsistensi diplomasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia?

Dampak MoU 12 November 2001
Dampak dari MoU tersebut selama 3 tahun terakhir, menyebabkan masalah untuk para nelayan tradisional Indonesia dan juga aparat hukum yang melakukan tugasnya seperti Polairud, TNI-AL dan Pihak Imigrasi maupun Kejaksaan dalam hal penuntutan.
Daftar kasus penangkapan oleh TNI-AL berdasarkan periode Januari – Agustus 2004 dapat dilihat dari tabel berikut ini:

Daftar Kasus Kasus Pidana Perairan di Wilayah Lantamal VI
(Pangkalan Pertahanan TNI Angkatan Laut) Periode Januari – Juli 2004
NO Nama Kasus Jumlah
1. Perizinan 16 kasus
2. Ketenagakerjaan 2 kasus
3. Imigrasi 1 kasus
4. Pelanggaran Pelayaran 38 kasus
5. Pelanggaran Pengangkutan Kayu 2 kasus
6. Perikanan 26 kasus

Total: 85 kasus


Kapal yang ditangkap Lantamal VI (Pangkalan Pertahanan TNI Angkatan Laut)
Periode Januari – Agustus 2004*
No Keterangan Jumlah
1. Kelengkapan Dokumen 42 kapal
2. Kelengkapan Dokumen * 6 kapal
3. Proses Penyerahan ke Kajari Bitung 24 kapal
4. Proses Penyidikan 7 kapal
5. Proses Pelanggaran Ringan 5 kapal

Total: 84 kapal

*catatan: 24 kapal yang telah melengkapi dokumen telah dibebaskan

Berdasarkan data di atas, urgensi pembahasan perbatasan ZEE Indonesia–Filipina hendaknya dikedepankan dalam pertemuan selanjutnya mengingat begitu banyak masalah perbatasan yang harus diselesaikan oleh Pemerintah RI. Tercatat bahwa Pemerintah Indonesia masih menyisakan 9 (sembilan) negara yang berbatasan langsung baik laut ataupun darat. Wilayah perbatasan negara tersebut yakni Australia, Timor-Leste, Papua-New Guinea, Kepulauan Palau, Malaysia, Singapura, India, Thailand, dan Vietnam.

Usaha Pemerintah Indonesia
Meski demikian, Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai usaha menyangkut perbatasan walaupun belum terkoordinasi dengan baik diantaranya adalah :

Yuridis Formal
•Pengumuman tentang Perairan Indonesia (Deklarasi Djuanda 13 Desember 1953);
•UU No.4 Prp.1960 Tentang Perairan Indonesia;
•Pengumuman Pemerintah Tentang Landas Kontinen Indonesia - 17 Februari 1969;
•Undang-Undang No. 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia;
•Pengumuman Pemerintah Indonesia tentang ZEE 20 Maret 1980;
•Undang-Undang No.5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia;
•Undang-Undang No.17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi Indonesia terhadap United Nation Convention on the Law of the Sea 1982;
•Undang-Undang No.6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia;
•Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 1998 Tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Pangkal Dari Garis Pangkal Lurus Kepulauan di Laut Natuna;
•Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan,
•Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia (Marore masuk dalam titik 35 dan 36 sedangkan Miangas dalam titik 38 dan 39).

Keamanan
•Patroli Satuan Polisi Air dan Udara
•Pos Keamanan Angkatan Laut di Perbatasan
•Pada tanggal 27 Januari 2003 TNI-AL menembak 4 pumboat Filipina yang memasuki wilayah perairan;
•Pada tahun 1998 TNI-AL melakukan Operasi Bhakti Surya Bhaskara Jaya dengan kegiatan lainnya sea carnival, lomba renang, lomba dayung dan mobile market;
•Pada bulan Juli 2004 TNI-AL melakukan Operasi Trisila I/2004;
•Pada bulan Oktober 2004 dilaksanakan Operasi Hiu Macan;
•Polres Sangihe di tahun 2004 melakukan penangkapan sejumlah orang yang diduga termasuk jaringan teroris, menyita potassium, minyak tanah, barang-barang seludupan lainnya
Perundingan dalam hal penetapan batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) di pihak Indonesia mengusulkan penggunaan prinsip proporsionalitas sedangkan Filipina mengusulkan prinsip sama jarak. Menurut analisis Agus Izudin (2006), apabila menggunakan prinsip proporsionalitas, menunjukkan wilayah yang lebih luas bagi Indonesia dibandingkan dengan penggunaan prinsip sama jarak (equidistance). Berdasarkan kedekatan penarikan titik dasar dimana jarak terjauh pantai yang berhadapan sekitar 315 mil laut dan jarak terdekat 39 mil laut antara Pulau Marore (Indonesia) dan Pulau Saranggani (Filipina), teknis pengukuran garis batas dapat digunakan equidistance principle berupa garis tengah (median line).

Titik-titik dasar Indonesia yang akan digunakan dalam penetapan ZEE adalah meliputi TD. No. 040 (Pulau Sambit) sampai dengan TD. No. 56A (Pulau Miangas), titik dasar tersebut tertuang dalam PP Nomor 38 tahun 2002. Sedangkan Filipina berdasarkan garis pangkal kepulauan mengacu pada Jaringan Geodetik Nasional menggunakan Global Positioning System yang mengacu pada ellipsoid referensi WGS 84.

Sampai saat ini (2006), penetapan batas ZEE Indonesia dan Filipina masih menjadi pembahasan oleh kedua tim. Tercatat beberapa pertemuan lanjutan kelompok kerja pada tanggal 1-5 Desember 2003 (Manila), Informal Meeting Kelompok Kerja pada tanggal 4-6 November 2004 (Manila), dan Pertemuan Sub-Kelompok Kerja Informal 3-4 Maret 2005 (Manila). Berdasarkan kondisi di atas, pada prinsipnya hukum internasional menyiapkan pilihan mekanisme untuk penyelesaian batas ZEE antara negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan sebagaimana Indonesia dan Filipina.

Penetapan batas ZEE ini, akan memberikan kepastian hukum bagi pihak negara, masyarakat setempat dan pihak ketiga dalam melakukan aktivitas dan pelayaran di zona ekonomi eksklusif. Ini berarti akan memudahkan aparat kedua negara dalam hal kerjasama keamanan serta penindakan dan sanksi bagi para pelanggar batas secara ilegal, sekaligus menjadi jembatan dalam memerangi kejahatan transnasional di wilayah perairan kedua negara.

1 comment:

Erwin Life with Heart said...

bang Steven.. memang mantap betul.. sungguh terhormat saya mengenal dekat bang Steven... sukses selalu untuk bang Steven dan keluarga.. kalau saya pulang ke Indonesia nanti kita musti banyak sharing ya bang.. banyak ilmu penting yang harus saya serap dari bang Steven... sukses selalu bang.. GBU.. Erwin@kujang642