Peluncuran Buku Archipelagic State

Peluncuran Buku Archipelagic State
Prof. Hasjim Djalal, Laksda Gunadi, Dr. Makmur Keliat, Begi Hersutanto, MA, Marsda Sagom Tamboen

Blog Archive

Wednesday, July 16, 2008

Warning WOC+CTI 2009

(Meninjau Konsep Traditional Fishing Rights)

Dr. Noldy Tuerah dan Dr. Tony Wagey dari AS melaporkan bahwa “…Gubernur Sulawesi Utara menyampaikan inisiatif pemerintah Indonesia menyiapkan konsep Traditional Fishing Rights untuk dibicarakan dengan pemerintah Pilipina. Konsep ini diharapkan akan dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi kedua negara (Pilipina dan Indonesia) di wilayah perbatasan berkaitan dengan illegal fishing.” (sulutlink 25/6/2008).
Bandingkan tulisan berjudul WOC:Global Forum vs Deklarasi Djuanda. “…Pelaksanaan WOC 2009 seyogyanya menitikberatkan pengembangan kelautan dengan memerhatikan karakteristik setiap negara. Aturan-aturan lokal/tradisional harusnya tidak dilanggar untuk kepentingan konservasi semata. WOC 2009 harus menyerukan perlindungan terhadap “traditional fishing area” dan mengambil tindakan hukum terhadap pelaku illegal fishing.” (sulutlink 23/6/2008).

Traditional Fishing Rights dan Traditional Fishing Area
Sangat berbahaya, Gubernur Sarundajang atas nama Pemerintah RI membahas mengenai konsepsi traditional fishing rights. Perlu diketahui, dalam perjanjian bilateral Indonesia-Filipina 1976, klausul traditional fishing rights diusulkan Filipina, tapi ditolak Pemerintah RI. Penolakan Pemerintah RI berbuntut panjang. Ketika Presiden Megawati memerintah, Presiden Gloria Arroyo meminta kembali supaya RI membuka traditional fishing rights bagi nelayan Filipina di wilayah Indonesia. Permintaan itu dikabulkan sesaat setelah pertemuan Mega-Aroyo di Jakarta, 12 September 2001.
Akibat kebijakan pemerintah RI, maka terjadi penangkapan ikan besar-besaran nelayan Filipina di perairan Zona Ekonomi Ekslusif yang memang belum disepakati kedua negara. Indonesia dirugikan atas hal ini. Banyak nelayan Indonesia di perbatasan utara mengalami ‘paceklik’ hasil tangkapan di laut. Nelayan kita kalah modern dengan kapal-kapal Filipina yang mampu memuat ratusan ton ikan dari laut Indonesia. Bahkan pantauan penulis tahun 2004, warga Sangir terdesak atas masuknya kapal-kapal penangkap ikan asing.

Untunglah pada bulan Oktober 2005, Menteri Kelautan dan Perikanan RI Freddy Numberi, menolak ijin penangkapan ikan oleh nelayan asing di seluruh wilayah perairan nasional. Kini, jika Gubernur Sarundajang ingin membuka kotak ‘pandora’ dengan Presiden Arroyo, lantas apa yang akan dibahas atas nama Pemerintah RI menyangkut traditional fishing rights?

Mari kita lihat implikasi hukum internasional terhadap konsep traditional fishing rights. Konsep ini tertuang dalam pasal 49 dan 51 UNCLOS 1982 bahwa “negara kepulauan harus menghormati perjanjian dengan negara lain dan mengakui hak perikanan tradisional dan kegiatan lain yang sah dengan negara tetangga, yang wilayah perairannya berdampingan dan berada dalam perairan kepulauan. Selanjutnya, syarat ketentuan pelaksanaan hak dan kegiatan, harus diatur dengan perjanjian bilateral antara mereka. Hal ini tidak boleh dialihkan atau dibagi dengan negara ketiga atau warga negaranya.
Dapat disimpulkan bahwa konsep traditional fishing rights harus melalui mekanisme bilateral kedua negara yang berbatasan perairan. Perlu diingat, bahwa konsep traditional fishing rights tidak sama dengan traditional fishing area. Traditional fishing rights adalah mekanisme antarnegara yang mengatur hak-hak nelayan di perairan yang berbatasan/berdampingan. Sedangkan traditional fishing area adalah daerah penangkapan ikan yang diberikan kepada nelayan tradisional dalam batas-batas konservasi laut diperairan nasional ataupun daerah.

Oleh karena itu, dirasa tidak perlu WOC-CTI 2009 memasukan agenda traditional fishing rights Indonesia-Filipina. Akan sangat berat dampaknya jika ikatan bilateral traditional fishing rights Indonesia-Filipina dipublikasikan saat WOC 2009. Hal ini justru merugikan nelayan Indonesia sendiri.

Mungkin kita perlu belajar dari konflik Thailand dengan Vietnam 1999-2001. Ketika ribuan kapal-kapal berbendera Thailand kehabisan sumber ikan di wilayahnya, maka okupasi dan penangkapan di arahkan ke perairan Vietnam (juga Malaysia, Filipina termasuk Indonesia). Apa yang dilakukan pemerintah Vietnam? Pemerintah Vietnam mengirim armada angkatan laut untuk menghalau dan mengusir kapal-kapal tersebut. Alhasil, konflik tembak-menembak di laut mengakibatkan meningggalnya prajurit kedua belah pihak. Hal ini terjadi juga antara Indonesia-Malaysia di perairan dekat Pulau Berhala. Pada tahun 2004 dan 2006, kapal-kapal Malaysia menabrak rumpon-rumpon maupun perahu nelayan Indonesia yang sedang berlayar di perairan nasional.
Oleh karena itu, bercermin dari konflik sumberdaya laut di atas, hendaknya WOC 2009 hanya membahas perlindungan traditional fishing area di kawasan konservasi antarnegara. Konsep ini tertuang dalam Action Plan Coral Triangle Initiative, dimana pertemuan terakhirnya berlangsung di Manila pada bulan Mei 2008. (Bahkan, ada usulan bahwa Pertemuan Tingkat Menteri membahas tentang Action Plan CTI akan dilaksanakan di Manado, bulan Oktober 2008)

CTI merupakan usulan konservasi dan pengelolaan terumbu karang antarnegara yang bertujuan memfokuskan pengembalian ekosistem lingkungan laut. Oleh karena itu, diperlukan konsep traditional fishing area untuk melindungi hak-hak tradisional nelayan di atas lahan konservasi CTI. Perlindungan ini diperlukan untuk mencegah jangan sampai konservasi (peremajaan) terumbu karang di kawasan terganggu akibat kegiatan para nelayan tradisional. Dampaknya untuk Indonesia sebagai negara kepulauan adalah begitu banyaknya nelayan kita yang tersebar di wilayah perairan perbatasan yang menjadi mapping program konservasi terumbu karang. Hendaknya pemerintah RI mengajukan rancangan action plan CTI yang menjamin wilayah traditional fishing area. Bahkan jika perlu, melibatkan nelayan setempat dalam program konservasi terumbu karang. Dengan pelibatan tersebut, nelayan tradisional akan jauh lebih mengerti dan mendukung program konservasi bukan sebaliknya menolak bahkan merusak kawasan konservasi yang telah disepakati bersama.

Akhirnya, semoga pelaksanaan WOC+CTI 2009 berlangsung sukses dan mampu menghasilkan Deklarasi Kelautan Dunia, demi masa depan umat manusia!

No comments: