Pengelolaan Pulau-Pulau Terluar NKRI[1]
Pendahuluan
Perbatasan merupakan permasalahan abadi yang berlangsung terus-menerus. Tanpa ada usaha untuk berunding (negotiation), menghasilkan kesepakatan (agreement) dan menuai kerjasama (cooperation), permasalahan perbatasan akan mewarnai dinamika hubungan dan politik luar negeri Indonesia dengan negara-negara tetangga. Untuk itu, inisiatif diplomasi internal maupun bilateral perlu dilakukan supaya masalah perbatasan mendapat kepastian hukum baik secara publik, administrasi maupun politik.
Permasalahan
Sejak putusan Mahkamah Hukum Internasional atas Pulau Sipadan-Ligitan 17 Desember 2002, Indonesia secara beruntun dihadapkan pada masalah-masalah di perbatasan. Sebut saja, Timor Gap (2002), rusaknya ekosistem Pulau Nipa (2002), tragedi penembakan di Miangas (2003), klaim Timor Leste atas Pulau Batek (2004), penembakan dan pembakaran perahu nelayan Makasar-NTT di perairan dekat Pulau Pasir-Australia (2005), prahara di Ambalat (2005), pengrusakan rumpon, penabrakan dan penembakan terhadap nelayan Indonesia oleh Tentera Laut Diraja Malaysia (TLDM) di Pulau Berhala (2006 dan 2007), eksodus 46 warga Papua ke Australia (2006), Perjanjian DCA dan SEZ Indonesia-Singapura (2007), penembakan pelintas batas oleh TNI di NTT (2007), pengusiran aparat di pulau Gosong Niger (Kalbar) oleh Angkatan Laut Malaysia dan masih banyak lagi kasus yang terjadi baik di wilayah perairan maupun perbatasan darat Indonesia. Dengan sejumlah permasalahan di atas, bagaimanakah strategi pengamanan dan pengelolalan perbatasan khususnya di wilayah perairan dan pulau-pulau terluar NKRI?
Kesadaran Geografis
Sesungguhnya, tantangan yang dihadapi di perbatasan bukan saja dari segi politik, administrasi, hukum dan diplomasi dengan negara tetangga. Akibat pemanasan global diprediksikan akan terjadi sejumlah permasalahan di wilayah perbatasan Eropa, Asia, Amerika bahkan di seluruh dunia. Naiknya suhu dan permukaan air laut merupakan hasil alamiah yang mendorong laju daratan atau pulau-pulau tenggelam sehingga menghilangkan batas-batas fisiografi yang menjadi penentu titik awal pengukuran teritorial laut (12 mil laut), contigous zone (24 mil laut) dan economic exclusive zone (200 mil laut).
Jika ditelusuri, sejak tahun 1982 pulau-pulau di Indonesia sudah berkurang. Hal ini disebabkan oleh perubahan struktur populasi, politik-administrasi, abrasi dan lingkungan alam sekitarnya. Contohnya: Pulau Kambing dan Pulau Yako yang kini menjadi wilayah hukum Republik Demokratik Timor Leste sejak tahun 1999. Pulau Sipadan dan Ligitan sejak putusan ICJ 17 Desember 2002 dan di Kepulauan Seribu ada lima pulau yang hilang akibat pengerukan wilayah perairan sekitarnya yakni: Pulau Dapur (1988), Pulau Ubi Kecil (1980), Pulau Ubi Besar (1987), Pulau Nirwana (1986), Pulau Ayer Kecil (1985). Bahkan, menurut Ali Motchar Ngabalin: “jika tidak diantisipasi Indonesia akan kehilangan 2000 pulau pada tahun 2030.”[2]
Dengan tantangan alamiah dan ilmiah tersebut, apakah yang harus dilakukan pemerintah RI dalam membatasi kerusakan ekosistem laut dan pulau-pulau terluar di perbatasan? Ada lima rekomendasi yang dapat dilakukan pemerintah, yakni;
Pertama, kesadaran geografis. Hendaknya setiap warga negara mengetahui kondisi pulau-pulau terluar (the most-outer island) di perbatasan. Adapun pulau-pulau terluar yang tersebar dari Sabang-Merauke beragam bentuk, corak ekosistem dan memiliki permasalahan baik dalam bentuk abrasi laut maupun klaim negara tetangga di perbatasan. Ada 12 pulau yang rawan diklaim oleh negara tetangga yaitu; Pulau Rondo (Aceh), Berhala (Sumut), Nipa (Riau), Sekatung (Riau), Marore (Sulut), Miangas (Sulut), Marampit (Sulut), Dana (NTT), Batek (NTT), Fani (Papua), Bras (Papua), dan Fanildo (Papua).
Dari 12 pulau terluar tersebut hanya pulau Miangas, Marore, Marampit, Bras yang dihuni penduduk sedangkan pulau lainnya ditempati pasukan marinir dilengkapi menara suar sebagai bukti kehadiran negara (present and continous of state). Pulau Berhala sering disinggahi nelayan untuk berlindung dari angin dan badai. Adapun Pulau Batek, Fani, Bras dan Fanildo memiliki potensi wisata air.
Kedua, kesadaran pariwisata. Pemerintah RI harus mampu mendorong masyarakat maupun investor menjadikan pulau-pulau terluar di perbatasan sebagai objek pariwisata. Kasus Pulau Bidadari (NTT), yang dikelola pasangan Inggris sebagai objek wisata laut dengan mendirikan cottage atau penginapan telah menjadi pelajaran berharga bagi kita yang lalai akan potensi pulau-pulau tersebut. Dari pantauan di lapangan, Pulau Batek, Fani, Bras dan Fanildo dapat dijadikan objek pariwisata (eco-tourism) ditunjang pesisir pantai, corrals, fish serta keanekaragaman hayati yang begitu memukau dan mempesona.
Ketiga, kesadaran pembangunan. Sesungguhnya, daerah perbatasan harus dibangun fasilitas layanan transportasi laut berupa jalan, dermaga, kapal, jaring-jaring nelayan, sarana pengelolaan air bersih, listrik dan pusat pelayanan publik seperti: sekolah, rumah sakit atau puskesmas, kantor pos, jasa atau jaringan telekomunikasi, stasiun radio, alat panggil dan telepon satelit. Tanpa ada fasilitas memadai disertai tantangan alam maka pulau-pulau tersebut akan sulit dijangkau masyarakat atau pengunjung sehingga rentan penyelundupan, illegal fishing, illegal driling, illegal mining dan perompakan.
Keempat, kesadaran pendidikan. Sarana pendidikan merupakan kebutuhan bagi masyarakat di pulau-pulau terluar Indonesia. Sekolah Kejuruan Maritim dapat menjadi harapan masyarakat pesisir pantai. Jika masyarakat mendapatkan pendidikan yang layak, maka proses transformasi teknologi akan mudah diserap dan dipraktekan sesuai kebutuhannya. Sekolah dapat berfungsi sebagai transfer-knowledge bagi masyarakat di pulau-pulau terpencil.
Misalkan dalam hal pencarian ikan dengan menggunakan Vessel Monitoring System, dapat diajarkan kepada nelayan tradisional. VMS bukanlah alat canggih lagi jika dibandingkan dengan nelayan-nelayan tradisional negara tetangga. Dengan menggunakan VMS, maka pergerakan ikan akan terdeteksi dan nelayan tradisional dapat memanfaatkan teknologi tersebut tanpa meninggalkan kearifan dan pengetahuan lokal yang telah didapat secara turun-temurun. Dengan mendapatkan informasi pantauan migrasi dan lokasi ikan akan meningkatkan volume tangkap dan ekonomi produksi nelayan tradisional yang dapat nantinya meningkatkan produksi ikan secara nasional.
Kelima, kesadaran media massa. Hendaknya media massa menggalang editorial yang mampu menjangkau daerah perbatasan. Saat ini dengan kemampuan satelit semua orang bisa terhubung. Dalam satu kasus di perbatasan; ketika ada orang tua yang sakit, lewat saluran telepon satelit, informasi keberadaan orangtua diteruskan kepada anaknya yang jauh di luar pulau. Hasilnya, anak tersebut menjemput orang-tuanya hingga mendapatkan pelayanan medik di kota yang memiliki fasilitas lebih memadai. Jadi, tak ada kendala lagi jika media elektronik memilih reportasi perbatasan sebagai bagian kepedulian dan penguatan basis infomasi, edukasi maupun teknologi.[3]
Keunggulan Negara Kepulauan
Apabila lima rekomendasi di atas terpenuhi maka akan menumbuhkan sikap kepedulian terhadap pulau-pulau terluar dan berguna bagi pemerintah secara politis, administratif, dan hukum internasional. Dengan demikian, jelaslah bahwa penguatan basis negara kepulauan lewat kebijakan pembangunan di perbatasan menjadi argumentasi effective occupation yang melindungi secara konservatif maupun politis.
Selanjutnya, penataan ruang dan wilayah sebagai objek pariwisata merupakan upaya konservasi dan registrasi wilayah yang sangat diperlukan dalam pendaftaran pulau-pulau di United of Nations maupun International Maritime Organization. Hal ini menguatkan posisi penarikan garis batas negara kepulauan dari titik-titik pulau terluar.
Asumsi lainnya, jika pemerintah daerah menerbitkan Perda tentang batas penangkapan ikan maka akan bermanfaat melindungi nelayan tradisional sampai batas 12 mil laut (zona tambahan). Perda tersebut merupakan produk hukum, administrasi dan politik yang dapat dijadikan landasan apabila terjadi sengketa perbatasan wilayah laut dengan negara tetangga.
Di samping keunggulan geografis, politik, hukum dan administratif, secara ekonomis sumber daya perairan dan kelautan memberi nilai yang tak kalah bandingnya dengan potensi di daratan. Kasus Ambalat, Sipadan-Ligitan, Timor Gap berawal dari besarnya investasi dan keuntungan yang diharapkan dari pengelolaan minyak, gas bumi serta potensi pariwisata.
Sesungguhnya, laut merupakan kehidupan dan masa depan bagi seluruh umat manusia di bumi. Oleh sebab itu, tidak salah kita memandang laut dan mengelola dengan bijak pulau-pulau terluar di perbatasan demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
>>>>> Referensi Bacaan
Wawancara dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi. “Kejayaan Bahari Negara Miskin Papa”. Majalah Gatra. Edisi khusus No.08 Tahun XII. Januari 2006. Hal 10-11.
“Penyelamatan Pulau-Pulau Terdepan” oleh Ali Motchar Ngabalin. Harian Seputar Indonesia. 12 Januari 2007.
Marsma TNI Gunaryadi, SE, MM. “Perlunya Undang-Undang Perbatasan Antar Negara: Bagi Aparat Keamanan Dalam Menjaga Perbatasan”. Majalah Ketahanan Nasional. Edisi Lux HUT ke 41 Tahun Lemhannas RI. 20 MEI 2006. Hal 16-19.
Focus Group Discussion “Ocean Policy & Pengelolaan Perbatasan Laut Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Sub tema Pulau Berhala.” Presentasi Ir. Reflus, Departemen Kelautan dan Perikanan RI. Selasa 20 November 1007.
Mayor Laut (KH) Drs. Heri Sutrisno, M.Si. “Pengamanan Pulau-Pulau Terluar Dan Perairan Perbatasan: Kesiapan TNI AL. Majalah WIRA. Edisi Khusus 2007. Hal 38-42.
Sarwono Kususmaatmadja. “Membangun Daerah dengan Paradigma Baru”. Majalah Tempo. Edisi khusus akhir tahun. Desember 2007. Hal 8.
Endang Sukendar dan Alfian. “Masa Depan di Dasar Laut”. Majalah Gatra. Edisi khusus No.08 Tahun XII. Januari 2006. Hal 76-79.
“Pengelolaan Perbatasan Butuh Badan Khusus”. Selasa, Manado Post 18 Maret 2003
[1] Disajikan pada Focus Group Discussion : Ocean Policy & Pengelolaan Perbatasan Ruang Laut Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Selasa, 20 November 2007. Departemen Kelautan dan Perikanan RI, Jakarta.
[2] Harian Seputar Indonesia 12 Januari 2007. “Penyelamatan Pulau-Pulau Terdepan” Ali Motchar Ngabalin- Anggota Komisi I DPR-RI.
[3] Bandingkan: P.Mangarang terletak di tengah Lautan Pasifik.Saat perahu motor ke Lirung, ada 2 orang sakit dalam perahu. Dipan disusun dalam perahu. Penumpang lain memilih duduk ditepi perahu. Kapasitas angkut 15 orang, harus menampung 25 orang plus 2 dipan kayu. Hal ini disebabkan tidak ada tenaga medis/ puskesmas yang memadai di pulau tersebut dan transportasi laut hanya 3 kali dalam seminggu (pengalaman penulis 2005).
No comments:
Post a Comment