PULAU-PULAU RAWAN SENGKETA MARITIM
Pendahuluan
Pulau Rondo (NAD) , Pulau Nipa (Riau), Pulau Sekatung (Riau), Kepulauan Anambas (Kep.Riau), Pulau Berhala (Sumut), Pulau Marore (Sulut),Pulau Miangas (Sulut), Pulau Marampit (Sulut), Pulau Fani (Papua), Pulau Fanildo (Papua), Pulau Bras (Papua), Pulau Batek (NTT) merupakan 12 pulau terluar yang menjadi fokus perhatian pemerintah sejak tahun 2003. Pengalaman kekalahan argumentasi di ICJ 17 Desember 2002 merupakan pelajaran berharga atas eksistensi pulau-pulau di perbatasan.
Ada dua adagium mengenai lautan dan daratan. Pertama, “daratan akan menguasai lautan”. Sedangkan kedua adalah “lautan akan menguasai daratan”. Mungkin ini paradigma pembangunan Indonesia yang berlaku selama ini. Sebelum laut menguasai daratan maka daratan harus benar-benar survive dan berkembang menjadi daerah yang kuat. Dengan demikian, kekuatan daratan akan mengendalikan semua potensi yang ada di laut. Sebaliknya, adagium laut menguasai daratan merupakan hukum alam dan tidak bisa dipisahkan dari sejarah kehidupan manusia.
Melihat dua karakter di atas, pembangunan Indonesia masih di level mencari kebenaran adagium pertama. Sementara itu, negara-negara tetangga menyadari bahwa potensi kelautan merupakan sumber daya yang justru menopang kehidupan di daratan.[1] Klaim wilayah laut sesungguhnya merupakan kelanjutan untuk memperoleh daratan atau pulau-pulau di sekitarnya. Kondisi inilah yang menjadi kerawanan dan bakal memicu konflik di pulau-pulau terluar Indonesia.
Oleh karena itu, jika selama ini konsentrasi pemerintah masih membangun daratan (pulau-pulau besar) maka sudah selayaknya program pemerintah menuju ke laut.
Permasalahan
Terlepas paradigma pembangunan Indonesia yang berorientasi daratan, sesungguhnya potential conflict di laut harus dihadapi bersama. Hal ini menyangkut kedaulatan wilayah laut serta eksistensi pertahanan dan argumentasi kepemilikan terhadap pulau-pulau terluar. Dua belas pulau terluar Indonesia menjadi incaran dan terus-menerus masuk dalam agenda bilateral, diklaim secara politis, hukum dan hubungan internasional pada pembicaraan publik antar negara kawasan Asia Tenggara dan Pasifik.
Pembahasan
Untuk mengenal potensi konflik wilayah dan potensi pulau-pulau tersebut, berikut ini adalah kajian hukum, sejarah dan hubungan antarnegara disertai pendukung ilustrasi peta maupun gambar 12 pulau-pulau rawan sengketa maritim beserta pulau-pulau terluar di perairan sekitarnya.[2]
A. 1. Pulau Rondo: Kerjasama Patroli Indonesia-India
Hubungan Indonesia-India telah terbina sejak awal kemerdekaan 1945. Pengakuan kemerdekaan dan dukungan terhadap Proklamasi RI justru pertama datang dari rakyat dan Pemerintah India. Semasa Nehru dan Soekarno, kedua negara menjadi pelopor bagi terwujudnya negara-negara Asia yang merdeka, bersatu dan berdiri di atas kaki sendiri.[3]
Hubungan antarkedua negara terus dibina hingga kini. Salah satunya adalah kerjasama patroli perbatasan laut. Kerjasama patroli antara India dan Indonesia (Patroli Indindo) bertujuan meningkatkan kemampuan kedua negara dalam menjaga wilayah perbatasan serta meningkatkan hubungan politik yang terjalin selama lima puluh tahun lebih. Kerjasama Patroli Maritim bertujuan juga mengurangi kejahatan lintas negara yang berkembang begitu kompleks paska peristiwa 11 September 2001.
Di samping itu, gerakan radikal dan perlawanan termasuk pemberontakan serta terorisme menjadi pusat perhatian dalam kerjasama patroli India-Indonesia. Akan tetapi, menjadi ganjalan hubungan RI-India adalah konflik perbatasan perairan teritorial di sekitar Pulau Andaman dan Nikobar. Dalam laporan Panglima TNI, secara tradisional wilayah ini sering di datangi nelayan Aceh untuk menangkap ikan. Hal ini perlu mendapat perhatian dari kedua belah pihak karena dapat menjadi pemicu konflik lintas perairan dalam skala lebih besar.
Tercatat bahwa patroli bersama yang dilaksanakan pada tahun 2007, RI melibatkan Pesud Nomad P-842 dan KRI Silas Papare. Sedangkan India mengikutsertakan Pesud Patmar Navy 232 Dornier serta unsur Kapal Atas Air INS Cheetah dan Batti Malv. Selanjutnya, dalam laporan pemerintah RI menyebutkan setidaknya kerjasama patroli India-Indonesia di perbatasan telah berlangsung sebanyak 10 kali sejak tahun 2002.[4]
Di lain pihak, ancaman keamanan di Pulau Rondo datang dari gerakan separatisme. Meski telah ditandatangani perjanjian perdamaian di Helsinki-Finlandia, kerawanan Pulau Rondo yang luasnya hanya sekitar 0,4 kilometer persegi sangat tinggi. Hal ini tidak terlepas dari kegiatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan kemungkinan sayap militer yang masih eksis melakukan provokasi, kekacauan dan kerap bersembunyi di pulau tersebut.
Jika ditelusuri, secara administratif Pulau Rondo merupakan wilayah Kelurahan Ujung Ba’u, Kecamatan Sukakarya, Kabupaten Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam. Pulau ini terletak di ujung utara Pulau Weh dan merupakan pulau terluar strategis di ujung barat Indonesia yang menjadi jalur pelayaran internasional. Posisi Pulau Rondo berada di titik astronomis 06º04’30” Utara-095º 06’45” Timur. Sedangkan dalam Peta Daftar Koordinat, Pulau Rondo merupakan Titik Dasar (TD.177) dengan Tata Ruang (TR) 177.
Dalam hal ini, Pulau Rondo berbatasan langsung antara wilayah perairan RI-India. Keberadaan pulau ini tidak memiliki penghuni tetap dan hanya dijaga oleh petugas mercusuar. Selain merupakan Titik Dasar penarikan batas teritorial dan ZEE, Pulau Rondo memiliki kekayaan alam perikanan dan terumbu karang. Karena posisinya jauh dari pantauan radar maupun patroli maka wilayah perairan sekitar Pulau Rondo rentan terhadap illegal fishing. Wilayah ini juga rawan abrasi dan dapat merubah titik dasar yang menjadi pangkal tolak penarikan batas perairan antara Indonesia dan India.
Selanjutnya, bentuk fisiografis permukaan darat Pulau Rondo berbukit-bukit dan ditumbuhi berjenis tanaman seperti: kelapa, jeruk, mangga dan cengkeh. Selain menara mercusuar, terdapat Pos AL yang menempatkan 34 personil Marinir dan bertugas selama 24 jam penuh.
Selain Pulau Rondo, ada juga beberapa pulau yang berbatasan dengan India dan Lautan Lepas yakni Pulau Benggala, Pulau Rusa, Pulau Raya, Pulau Salaut Besar dan Pulau Simeulucut.
Berikut ini adalah profil singkat pulau-pulau tersebut.
2. Pulau Benggala
Pulau Benggala berada di posisi 05º47’34” Utara dan 094º 58’21” Timur. Luas Benggala sekitar 0,006 km2. Adapun perkembangan terhadap pulau ini adalah rencana Pemerintah RI untuk rekonstruksi dan pemeliharaan Tata Ruang serta penentuan Titik Dasar. Kondisi umum Benggala yakni berpantai curam dan tanahnya berupa batu karang terjal sehingga lebih tepat disebut pulau karang. Dalam hal ini, Benggala merupakan pulau kosong tidak berpenghuni dan berada pada Titik Dasar (TD. 176A) serta Tata Ruang (TR.176A).
Di samping itu, Pulau Benggala belum memiliki menara suar dan perlu mendapat perhatian Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat.
3. Pulau Rusa
Letak astronomis Pulau Rusa di posisi 05º16’34” Selatan - 095º12’07” Timur dengan pijakan TD.175 dan TR. 175. Luas Pulau Rusa 1 kilometer persegi dan merupakan pulau yang rawan terjadi abrasi akibat gelombang pasang-surut laut. Oleh karena itu, perlu diusahakan pembangunan pelindung gelombang dan abrasi pantai. Sama halnya Pulau Rondo, Pulau Rusa memiliki tanaman dan tumbuhan bervegetasi berupa kelapa, pisang dan cengkeh. Selain merupakan pulau terluar, posisi Pulau Rusa dapat digunakan sebagai sarana komunikasi dan navigasi bagi pelayaran. Hal ini berguna sebagai titik pandu bagi nelayan dan pelaut di tengah Samudra Hindia yang begitu luas.
4. Pulau Raya
Pulau Raya dengan luas kurang lebih dua kilometer persegi memiliki penduduk sebanyak 312 jiwa. Letaknya di 04º52’33” Selatan-095º 21’46” Timur. Sebagian besar penduduk bergantung pada hasil perikanan dan tanaman. Di pulau ini terdapat mercusuar tapi rawan penyelundupan barang dan benda-benda terlarang. Hal ini terjadi karena taraf hidup dan tingkat ekonomi masyarakat Pulau Raya sangat rendah. Keterbatasan dan jauh dari jangkauan sentra ekonomi rakyat merupakan kendala yang dialami sehari-hari masyarakat Pulau Raya.
Oleh karena itu, harapan masyarakat terhadap pemerintah supaya membangun sarana dan prasarana sekolah, masjid dan pelabuhan kecil disertai penyuluhan pertanian dan perkebunan serta budidaya perikanan. Tanpa pendampingan dan dukungan penyuluhan, masyarakat Pulau Raya tidak akan berhasil jika mengandalkan kemampuan tradisional dalam hal penangkapan ikan. Bahkan jauh daripada itu, masyarakat akan mudah terseret kegiatan penyelundupan serta kejahatan lainnya demi memenuhi kebutuhan hidup pribadi maupun sosial.
5. Pulau Salaut Besar
Pulau Salaut Besar lebih luas jika dibandingkan pulau-pulau di perairan Indonesia-India. Luas Salaut Besar sekitar 2,5 kilometer persegi dan berada di tengah Samudra Hindia sehingga dapat dikategorikan sebagai pulau perbatasan yang sangat terpencil. Selanjutnya, kondisi pulau ini rawan atas abrasi pantai dan gelombang laut.
Di pulau ini terdapat menara suar serta sering disinggahi para nelayan untuk mencari ikan ataupun dijadikan tempat beristirahat. Sama hal dengan pulau lainnya, Pulau Salaut Besar dikategorikan pulau bervegetasi dimana tumbuh berbagai jenis tanaman dan tumbuhan pada permukaan tanahnya. Selain merupakan TD. 171 dan TR. 171, posisi Salaut Besar berada di 02º57’51” Selatan-095º 23’34” Timur merupakan pulau rawan penyelundupan, pembajakan dan pelanggaran wilayah oleh nelayan kedua negara yakni Indonesia maupun India.
6. Pulau Simeulucut
Pulau Simeulucut merupakan pulau terluar terbesar dan berada di wilayah administratif Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan luas mencapai 7,5 kilometer persegi. Di pulau ini terdapat menara suar dan dihuni penduduk. Usaha pemerintah dalam hal pembangunan pelindung pantai dari ancaman abrasi laut harus dibarengi dengan peningkatan pengawasan secara terintegrasi. Pulau ini terletak di 02º31’47”Selatan-095º 55’05” Timur dan berpotensi menjadi pangkalan sementara atau persinggahan bagi pelaut yang melewati Selat Malaka.
Orang Simeulu[5] menempati pulau ini. Simeulucut merupakan bagian administrasi Kabupaten Aceh Barat yang sekarang menjadi Kabupaten Simeulu. Jarak ke selatan sekitar 109 menuju Kota Meulaboh dan Kota Tapaktuan merupakan Ibukota Kabupaten Aceh Selatan.
Dari informasi yang dihimpun, Orang Simeulu memiliki tiga bahasa atau dialek yaitu Devayan, Sigulai dan Lukon. Bahasa Devayan digunakan Simeulu Timur, Simeulu Tengah dan Tepah Selatan. Adapun bahasa Sigulai dipakai di Simeulu Barat dan Salang. Sedangkan bahasa Lukon digunakan di perbatasan antara Salang dan Simeulu Barat. Bahasa pergaulan adalah bahasa Jamu yang dibawa pendatang Sumatera Barat.
Akan tetapi, bahasa resmi yang dipakai adalah bahasa Indonesia. Secara kekerabatan Orang Simeulu memiliki hubungan keluarga yang disebut walli . Umumnya, setiap kampung berdiri masjid atau mushala. Di samping itu, tiap suku mempunyai nama misalnya Abon, Lateng, Bihawo dan Ballawa. Suku Abon pandai menempa besi sedangkan suku Lateng umumnya pandai membuat perahu.
Rekomendasi dan Saran
Dengan demikian, terdapat enam pulau terluar yang berada dalam jangkauan administratif Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang harus diperhatikan dan dikembangkan. Sebagai titik batas kedaulatan negara, pulau-pulau di atas berpotensi masalah dengan Pemerintah India maupun Pemerintah Thailand karena kedekatan wilayah perairannya dengan Indonesia. Sebagai bentuk pengakuan wilayah perairan dan penarikan titik garis batas antarnegara Pemerintah Indonesia, Thailand dan India telah menyepakati penarikan batas wilayah di Laut Andaman yang ditandatangani pada 22 Juni 1978 di New Delhi.
Meski demikian, penetapan titik pertemuan tiga garis batas Indonesia, India dan Thailand di Laut Andaman yang koordinatnya 07º47’00” Lintang Utara - 095º 31’48” Bujur Timur[6] dapat memicu perselisihan antarbatas negara di wilayah perairan tersebut. Hal ini disebabkan tingginya intensitas ancaman baik separatisme, illegal fishing dan klaim antarperairan negara terhadap potensi kelautan.
Oleh karena itu, penetapan Tata Ruang dan Tata Wilayah perlu dilakukan Pemerintah Daerah NAD maupun Pemerintah Pusat. Selain itu, Undang-Undang Pengelolaan Pesisir Pantai merupakan kebutuhan bagi nelayan dan pelaku usaha perikanan supaya dapat memanfaatkan wilayah perikanan tangkap tanpa adanya tumpang-tindih wilayah penangkapan ikan. Tak kalah penting, pengawasan pulau-pulau terluar harus menjadi perhatian dan koordinasi terintegrasi tentang masalah perbatasan. Pemerintah perlu menyiapkan anggaran belanja atau dana cadangan dalam hal pemanfaatan dan pengelolaan pulau-pulau di NAD.[7]
Jika hal di atas terpenuhi maka secara hukum dan politis, Pemerintah RI telah menetapkan landasan okupasi aktif bagi ke enam pulau-terluar di NAD yang berbatasan maritim dengan India maupun Thailand di Samudera Hindia.
B. Pulau Nipa : Kedaulatan dan Tapal Batas Yang Terkikis
Pulau Nipa termasuk dalam catatan registrasi administrasi Desa Pemping, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam, Provinsi Riau. Nipa merupakan pulau kecil yang tidak berpenghuni dan berhadapan langsung dengan Singapura. Posisi Nipa terletak di titik 01º09’13” Utara-103º 39’11” Timur.[8]
Kondisi fisiografis pulau ini 80 persen batuan karang mati dan 20 persen batuan berpasir. Luas dataran berbentuk lonjong sekitar 3600 kilometer persegi dan di sekitar pulau dijadikan penambangan pasir. Akibatnya, terjadi abrasi pantai yang mengancam tenggelamnya pulau Nipa.
Ketika badai datang, hampir seluruh bagian pulau terendam. Nipa merupakan salah satu pulau yang dijaga Marinir. Sebelum dilakukan reklamasi tahun 2002, Nipa hanyalah pulau karang seluas 1,4 hektar dikala pasang laut. Selanjutnya, jika diteliti lebih cermat, pulau karang ini membelah jalur pelayaran intenasional di Selat Philips dan terletak empat mil sebelah selatan Pulau Sudong dan Pulau Pawai milik Singapura. Di depan sebelah utara Nipa, membentang kawasan industri Jurong (Singapura) yang melakukan reklamasi besar-besaran dan mengancam kelangsungan pulau-pulau sekitarnya, termasuk Nipa. Sesungguhnya, sudah banyak pulau yang rusak dan tenggelam sejak eksploitasi penambangan pasir dan kegiatan reklamasi Singapura. [9]
Tercatat, wilayah Provinsi Kepulauan Riau memiliki 19 pulau terluar. Tujuh di perairan Selat Philips dan Selat Singapura, dan 12 pulau di perairan Natuna. Sebagian besar tidak berpenghuni dan minim infrastruktur. Yang terhitung rawan ekologis adalah Nipa, Sekatung di Natuna yang berbatasan Vietnam dan Malaysia serta Pulau Kepala di Natuna yang berbatasan dengan Malaysia. Semuanya pulau kosong dan kini hanya ditempati prajurit Marinir-TNI AL.
Apabila Nipa tidak direklamasi maka akan tenggelam dan tentu batas perairan Singapura bertambah maju karena di daerah ini belum ada perjanjian batas perairan antara Indonesia dan Singapura. Dan memang diketahui bahwa perairan di sekitar Nipa merupakan sumber pasir melimpah untuk kepentingan reklamasi Singapura.
Oleh karena itu, untuk mempertahankan eksistensi Pulau Nipa, berdiri tiga barak Marinir yang bertugas sebagai pengawas teritorial. Untuk kebutuhan patroli tersedia dua speed boat dan perahu karet. Selain menara komunikasi terdapat juga BTS Telkom Fleksi. Di samping itu, fasilitas mesin reverse osmosis diperuntukan mengolah air laut menjadi air tawar. Namun kendala lain adalah penyediaan sumber energi melalui enam panel matahari berkekuatan 600 watt tidak cukup untuk menggerakkan alat tersebut.
Dari pengakuan prajurit Marinir, Nipa dapat dikatakan surga tropis karena setiap hari ratusan kapal besar lalu-lalang di dekatnya. Ketika malam hari gemerlap Singapura dan Batam dapat disaksikan melalui pandangan mata. Sungguh ironis, ketika awal tahun 2003 perairan Nipa dijadikan pembuangan limbah B3 Singapura. Padahal perairan di dekat Selat Philips ini sangat bersih dan menjadi tempat berkembang-biak ikan kerapu yang tergolong mahal harganya. Jika nelayan ingin menetap, hasil tangkapan ikan kerapu dapat dijual ke Batam pada jarak tempuh 1,5 jam dengan menggunakan spead boat.
Di sisi lain, jika Pulau Nipa dan Pulau Sekatung terdapat Pos-AL dengan personil 1 pleton (30 orang), maka di Pulau Kepala terletak pada ujung perairan Natuna ditempatkan empat personel Marinir yang tergabung dalam Satgas Pengamanan Kepulauan. Kendalanya adalah keterbatasan dukungan logistik, personel, transportasi dan komunikasi. Jalur transportasi menjadi masalah utama karena posisi pulau-pulau terluar sangat sulit dijangkau dan memperlambat rotasi pergantian personel. Mengenai komunikasi antarpulau, pasukan TNI-AL terbatas dalam menggunakan telepon satelit. Pada akhirnya, diakali dengan memanfaatkan jalur kapal yang melewati pulau sehingga dapat dijadikan sebagai kurir atau perantara.
Rekomendasi dan Saran
Pulau Nipa merupakan salah satu pulau rawan abrasi dan rawan konflik antara Indonesia-Singapura. Potensi konfliknya adalah batas laut territorial Indonesia-Singapura yang belum disepakati, walaupun sudah ada perjanjian perbatasan kedua negara. Memang perjanjian Indonesia-Singapura tahun 1973 belum membicarakan batas-batas sebelah utara Selat Malaka. Dengan demikian, wilayah perairan perbatasan tersebut belum tercantum dalam perjanjian tahun 1973. Bahkan, apabila kegiatan reklamasi dilakukan Pemerintah Singapura secara terus menerus, maka Nipa akan tenggelam dan mengakibatkan perubahan batas kedua negara di Selat Malaka.
Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia disarankan segera menyelesaikan perundingan batas perairan Indonesia-Singapura di sebelah utara Selat Malaka hingga ke perairan Natuna. Hal ini supaya tidak menumpuk masalah perbatasan perairan antarnegara. Lebih bahaya lagi ketika Perjanjian Kerjasama Pertahanan (DCA Singapura-Indonesia) dan Perjanjian Special Economic Zone (Kawasan Ekonomi Khusus Singapura-Indonesia) yang menjadikan wilayah ini sebagai objek perjanjian. Yang menjadi pertanyaan, mengapa pemerintah kedua negara mengadakan perjanjian pertahanan dan kawasan khusus ekonomi bebas di atas wilayah yang nantinya menjadi potensi konflik karena belum ada perjanjian batas wilayah maritim? Apakah ini sebuah strategi atau justru diplomasi kita yang kebablasan?[10]
C.1. Pulau Sekatung : Budidaya Teripang Laut
Pulau yang rawan konflik selanjutnya adalah Sekatung. Pulau Sekatung masuk administrasi pemerintahan Desa Air Payang, Kelurahan Pulau Laut, Kecamatan Bunguran Barat, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Pulau ini terletak di utara Kepulauan Natuna yang berbatasan dengan Vietnam. Sekatung termasuk juga gugusan Kepulauan Natuna selain Pulau Sedanau, Pulau Bunguran, dan Pulau Midai. Luas Sekatung sekitar 0,3 kilometer persegi dan berada pada TD. 030B dan TR. 030A. Pulau ini tidak berpenghuni namun sering digunakan sebagai persinggahan nelayan lokal dan asing. Secara umum, kondisi perairan di Sekatung sangat sulit di darati dari arah laut meskipun sudah dipasang suar sebagai petanda navigasi laut. Secara astronomi, Sekatung terletak di posisi 04º47’38” Utara-108º 00’39” Timur.
Adapun potensi di sekitar Sekatung adalah sumber daya perikanan dan terumbu karang. Oleh karena itu, wilayah perairan ini sangat rawan aksi illegal fishing. Selain potensi ikan yang berlimpah, daerah ini dapat dijadikan pusat pengembangan budidaya teripang laut.
Hal lainnya, PT Telkom telah membangun infrastruktur telekomunikasi untuk layanan internet berkecepatan tinggi di Ranai, Kabupaten Natuna. Hal ini bertujuan untuk menunjang komunikasi dan mendapatkan informasi yang terkait dengan daerah rawan gempa dan bencana alam. Oleh sebab itu, dalam laporan Harian Kompas, Natuna merupakan pulau terluar di Indonesia pertama yang memiliki akses internet kecepatan tinggi.[11]
Selain Pulau Sekatung, di Provinsi Kepulauan Riau terdapat banyak pulau-pulau terluar yang berada di wilayah perbatasan laut. Adapun pulau-pulau terluar tersebut adalah; Pulau Sentut, Pulau Tokong Malang Biru, Pulau Damar, Pulau Mangkal, Pulau Tokong Nanas, Pulau Tokong belayar, Pulau Tokong Boro, Pulau Semiun, Pulau Sebetul, Pulau Senua, Pulau Subi Kecil, Pulau Kepala, Pulau Sekatung, Pulau Batu Mandi, Pulau Iyu Kecil, Pulau Karimun Kecil, Pulau Nipa, Pulau Pelompong, Pulau Berhanti dan Pulau Nongsa.
2. Pulau Sentut
Sentut merupakan pulau terluar yang berbatasan perairan dengan Malaysia. Pulau Sentut berada di wilayah administratif Provinsi Kepulauan Riau dengan luas 0,1 kilometer persegi. Di pulau ini terdapat menara suar namun tidak dihuni penduduk. Pemerintah sudah selayaknya membangun tanggul pelindung pantai untuk mencegah abrasi laut. Selain usaha pembangunan tanggul, keberadaan Sentut harus dibarengi peningkatan pengawasan secara terintegrasi karena sangat strategis terletak di 01º02’52”Utara-104º49’50”Timur dan menjadi pijakan TD. 001A dan TR. 001A.
3. Pulau Tokong Malang Biru
Pulau Tokong Malang Biru merupakan pulau terluar yang berbatasan perairan dengan Malaysia. Luasnya tidak lebih 0,2 kilometer persegi. Di pulau ini terdapat menara suar namun tidak dihuni penduduk. Tokong Malang Biru berada di titik astronomis 01º18’00”Utara-105359’47”Timur dan sebagai TD. 022 dan TR.022. Sebagaimana Pulau Sentut, pemerintah perlu membangun tanggul pemecah gelombang atau menanam pohon pelindung untuk mencegah abrasi pantai. Selain itu, perlu dilakukan pemeliharaan sarana bantu navigasi pelayaran (SBNP).
4. Pulau Damar
Pulau Damar adalah pulau terluar yang berbatasan perairan dengan Malaysia dan memiliki luas sekitar 0,25 kilometer persegi. Di pulau ini terdapat menara suar dan tidak dihuni penduduk. Pulau ini terletak di 02º44’29”Utara-105º22’45”Timur dan sebagai TD. 023 dan TR. 023. Kondisi umum Damar sama halnya Pulau Tokong Malang Biru.
5. Pulau Mangkai
Luas Mangkai sekitar 3 kilometer persegi, berbatasan dengan Malaysia dan masih berada di wilayah Provinsi Kepulauan Riau. Secara astronomis, Mangkai terletak di posisi 03º05’32”Utara-105º35’00”Timur dan berfungsi sebagai TD. 024 dan TR. 024. Di pulau ini terdapat menara suar dan tidak dihuni penduduk. Meski demikian, sering disinggahi para nelayan. Akibatnya, kerusakan alam dan lingkungan tidak terhindarkan. Pemerintah seharusnya melakukan peningkatan pengawasan di samping membangun pemecah gelombang atau menanam pohon pelindung untuk mencegah abrasi pantai. Mangkai, sangat potensial dalam usaha pengembangan budidaya telur penyu.
6. Pulau Tokong Nanas
Tokong Nanas merupakan pulau terluar yang berbatasan dengan Malaysia dan tidak dilengkapi sarana menara suar. Luasnya sekitar 0,1 kilometer persegi dan terletak di 03º19’52”Utara-105º57’04”Timur serta dijadikan TD. 025 dan TR. 025. Tokong Nanas merupakan pulau karang yang berpantai curam dan termasuk pulau terpencil. Kondisi lainnya sama dengan Pulau Mangkai maupun Pulau Damar.
7. Pulau Tokongbelayar
Tokongbelayar adalah pulau terluar, terpencil dan termasuk pulau batu. Luasnya sekitar 0,1 kilometer persegi. Di pulau ini tidak terdapat menara suar dan tidak dihuni penduduk. Secara astronomis, pulau ini terletak di 03º27’04”Utara-106º16’08”Timur dan sebagai TD. 026 dan TR. 026.
8. Pulau Tokong Boro
Tokong Boro merupakan pulau terluar, berbatasan perairan dengan Malaysia dan termasuk administrasi Provinsi Kepulauan Riau. Luas pulau sekitar 0,02 kilometer persegi. Di pulau ini tidak terdapat menara suar dan tidak juga dihuni penduduk. Pemerintah hendaknya membangun menara suar karena merupakan TD. 028 dan TR. 028 sekaligus membangun pelindung pantai dari ancaman abrasi laut. Pulau ini terletak pada 04º04’01”Utara-107º26’09”Timur.
9. Pulau Semiun
Semiun merupakan pulau terluar yang berbatasan dengan dua negara tetangga yakni perairan Malaysia dan Vietnam. Luasnya sekitar 1 kilometer persegi. Di pulau ini terdapat menara suar namun tidak dihuni penduduk. Pulau ini sering disinggahi nelayan asing dan kerap merusak lingkungan sekitarnya. Di samping itu, Semiun memiliki tanaman seperti kelapa dan berpantai pasir. Akan tetapi, pulau ini sulit dijangkau atau didarati dari arah laut. Oleh karena itu, usaha pemerintah diperlukan dalam pengawasan secara terpadu. Pulau Semiun terletak di 04º31’09”Utara-107º43’17”Timur dan sebagai TD. 029 dan TR. 029.
10. Pulau Sebetul
Sebetul adalah pulau terluar yang berbatasan perairan dengan Vietnam. Selain tidak terdapat menara suar, pulau ini tidak dihuni penduduk. Luasnya sekitar 0,2 kilometer persegi. Nasibnya sama dengan pulau-pulau lainnya yang kurang mendapat pengawasan pemerintah. Pulau terpencil ini terletak di 04º42’25”Utara-107º54’20”Timur dan sebagai TD. 030A dan TR. 030A dalam daftar koordinat titik-titik terluar wilayah Indonesia.
11. Pulau Senua
Senua merupakan pulau terluar yang berbatasan dengan Malaysia dan rawan terhadap abrasi. Dengan luas sekitar 0,24 kilometer persegi pulau ini tidak dilengkapi menara suar apalagi dihuni penduduk. Padahal di sekitar Senua sangat strategis dikembangkan budidaya telur penyu dan wisata bahari. Meskipun Senua berbentuk batu dan sulit di darati kecuali dari arah barat, diperlukan usaha pemerintah dalam pembangunan suar dan pelindung pantai serta mendorong masyarakat atau investor melakukan kegiatan efektif di sekitar pulau ini. Secara astronomis pulau ini terletak di 04º00’48”Utara-108º25’04”Timur dan tercatat sebagai TD. 031 dan TR. 031.
12. Pulau Subi Kecil
Subi Kecil adalah pulau terluar yang berhadapan perairan dengan Malaysia, berada di wilayah administratif Provinsi Kepulauan Riau. Dengan luas sekitar 7 kilometer persegi, terdapat menara suar dan dihuni penduduk. Posisinya sangat strategis sehingga pemerintah membangun landasan sebagai pelabuhan udara perintis. Hal ini dimaksudkan juga sebagai jaring-jaring pengamanan negara kepulauan sehingga dapat dijadikan tempat pertahanan sekaligus daerah titik pantau dan penyaluran logistik apabila terjadi perang.
Pulau ini terletak di titik 03º01’51”Utara-108º54’52”Timur dan sebagai TD. 032 dan TR. 032. Kondisi alam Pulau Subi Kecil memang sulit didarati kecuali dari arah barat. Oleh karena itu, perbaikan landasan pacu dan pemeliharaan Sarana Bantu Navigasi menjadi kebutuhan dalam menunjang kepentingan komunikasi dan transportasi sekaligus pertahanan dan keamanan.
13. Pulau Kepala
Kepala merupakan pulau terluar di wilayah administratif Provinsi Kepulauan Riau serta termasuk pulau rawan konflik atas klaim Malaysia. Luasnya 0,2 kilometer persegi menjadikan pulau ini rentan diokupasi karena letaknya sangat terpencil. Apalagi di pulau ini tidak terdapat menara suar dan tidak dihuni penduduk. Oleh karena itu, pemerintah perlu mendorong aktivasi pembangunan pelindung pantai dibarengi peningkatan pengawasan terintegrasi. Pulau ini terletak di 02º38’43”Utara-108º00’39”Timur dan sebagai TD. 033 dan TR. 033. Di samping itu, Kepala adalah pulau batu dan tidak ditumbuhi tanaman.
14. Pulau Batu Mandi
Batu Mandi adalah pulau terluar yang berbatasan dengan Malaysia. Dengan luas sekitar 20 kilometer persegi, kondisi pulau tidak dilengkapi menara suar dan dihuni penduduk. Pulau ini terletak di 02º52’10”Utara-100º41’05”Timur dan sebagai TD. 185 dan TR. 185. Batu Mandi merupakan pulau batu yang sama juga nasibnya dengan Pulau Kepala.
15. Pulau Iyu Kecil
Iyu Kecil merupakan pulau terluar yang berbatasan dengan perairan Malaysia dan Singapura serta berada di wilayah administratif Provinsi Kepulauan Riau dengan luas sekitar 50 kilometer persegi. Di pulau ini terdapat menara suar namun tidak dihuni penduduk. Pulau ini terletak di posisi 01º11’30”Utara-103º21’08”Timur dan sebagai TD. 188 dan TR. 188. Iyu Kecil juga merupakan pulau batu.
16. Pulau Karimun Kecil
Karimun Kecil merupakan pulau terluar, berbatasan perairan Malaysia dan Singapura serta masuk wilayah Provinsi Kepulauan Riau. Luas sekitar 8 kilometer persegi. Pulau ini terletak di posisi 01º09’59”Utara-103º23’20”Timur serta TD. 189 dan TR. 189. Karimun Kecil tidak dilengkapi menara suar dan rawan abrasi pantai serta kegiatan penambangan. Kondisi umum Pulau Karimun Kecil sangat menyedihkan karena lingkungannya rusak akibat reklamasi dan penambangan pasir yang dilakukan Singapura. Usaha pemerintah seharusnya mengadakan reklamasi di sekitar perairan Karimun Kecil, karena nasibnya tak jauh berbeda dengan Pulau Nipa.
17. Pulau Pelompong
Pelompong merupakan pulau terluar yang berbatasan perairan Singapura. Luasnya sekitar 2 kilometer persegi. Di pulau ini tidak terdapat menara suar dan tidak dihuni penduduk. Letak Pelompong di 01º07’44”Utara-103º41’58”Timur, tercantum sebagai TD. 191 dan TR. 191. Sama halnya dengan Nipa dan Karimun Kecil, Pelompong juga mengalami kerusakan akibat penambangan pasir oleh Singapura. Bahkan, di bagian sebelah barat pulau ini sering dijadikan tempat lego jangkar oleh kapal-kapal asing.
18. Pulau Batu Berhanti
Batu Berhanti merupakan pulau terluar yang berbatasan dengan perairan Singapura dan berada di Provinsi Kepulauan Riau dengan luas sekitar 0,02 kilometer persegi. Di pulau ini sudah dilengkapi menara suar tapi tidak dihuni penduduk. Pulau ini terletak di 01º11’06”Utara-103º52’57”Timur dan sebagai TD. 192 dan TR. 192. Batu Berhanti bernasib tidak kurang sama dengan Nipa dan Pelompong yang mengalami kerusakan akibat penambangan pasir untuk keperluan pembangunan di Singapura.
19. Pulau Nongsa
Nongsa merupakan pulau terluar yang berbatasan dengan perairan Singapura dan Malaysia. Nongsa berada di wilayah administratif Provinsi Kepulauan Riau dengan luas sekitar 0,004 kilometer persegi. Di pulau ini terdapat menara suar namun tidak dihuni penduduk. Nongsa terletak di 01º12’29”Utara-104º04’47”Timur dan sebagai TD. 193 dan TR. 193. Nongsa mengalami kerusakan akibat penambangan pasir oleh Singapura. Sesungguhnya, Nongsa sangat potensial dijadikan sarana wisata bahari dan olahraga air.
Rekomendasi dan Saran
Di Kepulauan Riau ada banyak pulau kecil laksana untaian mutiara di perairan antara Indonesia, Singapura, Malaysia dan Vietnam. Untuk mengatasi kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir, ada baiknya pemerintah menempuh dua pilihan. Pertama, melakukan pengawasan atau patroli “stop ekspor pasir”. Hal ini harus juga mempertimbangkan kebutuhan pasokan pasir di dalam negeri. Kedua, memberlakukan kembali ekspor pasir dengan kendali harga secara nasional. Pemberlakuan ini bisa dijadikan pilihan apabila Singapura menyepakati untuk menghentikan kapal pengeruk pasir (dragger) di wilayah perbatasan yang hingga kini masih menyedot pasir dari dasar laut yang mengakibatkan abrasi dan penurunan daratan di sekitar pulau-pulau Kepulauan Riau.
Selain pengoperasian dragger, ganjalan utama sesunguhnya disebabkan tuntutan ekonomi rakyat yang menggantungkan hidup terhadap penambangan dan hasil penjualan pasir ke negara tetangga tersebut. Jadi, meskipun telah dilakukan penutupan tambang dan larangan oleh pemerintah RI ternyata tidak ampuh meredam penyelundupan pasir yang sering terjadi hingga kini.[12]
Pemberian kesempatan kerja dan pengalokasian penambangan sesuai perijinan merupakan usaha yang harus dikedepankan oleh pemerintah. Jika diabaikan, maka motif ekonomi rakyat kita sendirilah yang harus menjual kedaulatan tanah air ke negeri asing.
D. Kepulauan Anambas : Pertahanan dan Harga Diri Bangsa
Kekuatan laut dapat dibuktikan melalui naval diplomacy yakni pengerahan kemampuan, teknologi, pasukan dan armada militer laut. Sesungguhnya, konsep diplomasi laut sudah dipraktekkan sejak zaman Perang Troya, ekspedisi Khubilai Khan ke Nusantara, ekspansi armada Inggris ke seluruh dunia, okupasi Komodor Pherry ke Jepang hingga blokade laut Sekutu dan NICA saat perang di Surabaya.
Lebih dari itu, blokade laut bertujuan menghancurkan pertahanan musuh di pantai, melemahkan pertahanan musuh di darat serta supply logistics bagi pasukan untuk merebut daratan. Naval diplomacy ini, merupakan upaya diplomasi-okupasi dan pengepungan terhadap daratan melalui laut. Artinya, daerah pertahanan musuh dipersempit dengan menempatkan titik koordinasi kapal sekaligus mengunci pertahanan radar udara di darat sehingga memudahkan penyerangan.
Dalam perang di Surabaya yang dikenal Pertempuran 10 November, Indonesia dikatakan beruntung bisa menembus blokade musuh dan mempertahankan garis frontier dari serangan laut serta menewaskan Jenderal Mallaby. Namun, dari sekian banyak peperangan modern, kekuatan laut menjadi penentu kemenangan baik secara strategi maupun teknologi.
Salah satu bentuk peperangan laut modern yang terakhir di Indonesia adalah pembebasan Irian Barat bertajuk Operasi Mandala di tahun 60-an. Laksamana Yos Sudarso gugur dalam pertempuran di Laut Aru dan tenggelam bersama kapal Macan Tutul. Sesungguhnya, demi mempertahankan titik koordinat penyerangan dan mendukung pasukan KKO, pasukan peterjun dan menyelamatkan dua KRI lainnya, Macan Tutul yang dikomandani Laksamana Yos Sudarso menembus blokade laut dan menantang torpedo kapal laut serta serangan pesawat tempur Belanda.
Pertempuran Laut Aru menjadi teladan bagi para Taruna dan Perwira Laut Indonesia hingga kini. Pantang meninggalkan kapal dan terus menyerang musuh bukanlah suatu tindakan bunuh diri, melainkan pengorbanan dan bhakti perwira laut demi cita-cita dan kesatuan Republik Indonesia.
Terkait hal tersebut, sejak pertempuran Laut Aru selama dua puluh tahun armada laut Indonesia disegani di kawasan Asia khususnya Asia Tenggara. Dengan seratus lebih kapal perang berbagai jenis, Indonesia menjadi salah satu kekuatan di Asia-Pasifik. Namun, masa-masa keemasan tersebut sudah lewat. Dalam uji coba tembakan rudal dan torpedo laut di tahun 1990-an, KRI tak menampakkan daya tempurnya. Bahkan, embargo militer Amerika sejak tahun 1998 menjadikan hampir semua alutsista TNI macet dan lumpuh. Meski memiliki PT. PAL dan PT. PINDAD sebagai industri pertahanan dalam negeri, pada akhirnya tak banyak menolong dalam hal peningkatan alutsista Indonesia.
Hal ini sangat dimengerti dan diketahui negara-negara tetangga di Asia-Pasifik. Setelah embargo senjata AS, dapat dipastikan kekuatan tempur Indonesia berkurang. Buktinya, kapal perang Selandia Baru, Australia dan Armada Pasifik AS lalu-lalang di perairan nasional tanpa ijin dan sepengetahuan pihak TNI-AL.
Berdasarkan data dan kelemahan kondisi KRI di atas, pada tanggal 19-20 Mei 2007 Singapura melakukan latihan bersama negara-negara Commontwelth di perairan Anambas-Natuna. Padahal titik-titik koordinat tepat berada di wilayah kedaulatan RI. Hal ini dilakukan tepat ketika Indonesia dan Singapuran belum melakukan ratifikasi perjanjian pertahanan (DCA).[13]
Sebagai bukti pelanggaran kedaulatan, TNI-AL melakukan rekaman nomor lambung kapal. Terpantau tipe kapal perang mulai tingkatan bunker hingga kapal cepat rudal terdiri atas dua konvoi melintasi Anambas. Konvoi pertama bernomor lambung : 209, 90, 137, 91, 87, 172, 110, 86 dan P 46. Sedangkan, konvoi kedua bernomor lambung : A11, M06, M107, 567, 858, F111 dan F730. Kapal-kapal tersebut melintasi perairan Indonesia-Malaysia menuju daerah latihan yang diperkirakan menggunakan Zona Alpha 2 maupun Bravo yang posisinya tepat di perairan kepulauan Riau yakni Anambas-Natuna.
Jelaslah, perjanjian DCA membawa kerugian bagi Indonesia jika tidak diubah ataupun tetap dilanjutkan.[14] Respon TNI-AL dalam hal diplomasi laut negara asing hanya melakukan gelar patroli udara dan laut. Melalui KRI 385 Teuku Umar ditunjang KRI 375, 380, 806, 858 dan dua pesawat intai Nomad, Gugus Tempur Laut Armada Barat melakukan pengumpulan informasi dan formasi laut kapal-kapal perang asing tersebut.
Tujuannya menghalau sejauh mungkin pelanggaran dan tekanan armada asing di perairan Indonesia. Bahkan, Nomad P-842 RI melakukan terbang rendah di atas kapal-kapal untuk mendeteksi dan mengidentifikasi kemampuan persenjataan yang dimiliki. Riskan dan penuh tantangan yang harus dilewati dengan keberanian dan pengorbanan. Semangat pertempuran Laut Aru ternyata masih mengelorakan jiwa perwira penerbang laut ini. Akan tetapi, tindakan terbang rendah yang dilakukan pilot Nomad P-842 dibalas dengan mengudaranya helikopter asing dengan perlengkapan persenjataannya. Nomad P-842 tak dapat berbuat banyak dan akhirnya harus kembali ke Hang Nadim mengingat kondisi bahan bakar yang mulai berkurang.[15]
Sungguh tragis dan menyakitkan apabila menyaksikan drama latihan tempur gabungan yang diprakarsai Singapura dan Malaysia. Kemampuan tempur bukan saja strategi dan keberanian melainkan membutuhkan dukungan teknologi militer yang canggih supaya lawan tidak memandang sebelah mata.
Peristiwa di Perairan Anambas ini, menjadi potensi yang harus direspon pemerintah RI. Sesungguhnya, Singapura dan Malaysia tidak memiliki pilihan lain untuk menggelar operasi dan latihan militer di laut. Dan kenyataannya, perairan Singapura dan Malaysia sangat sempit untuk dijadikan daerah atau target sasaran rudal. Dengan peristiwa Anambas-Natuna, semoga menjadikan kita sadar bahwa bangsa bahari ini sangat lemah dan rentan akan okupasi laut serta dikelilingi oleh negara-negara tetangga yang memiliki kemampuan tempur laut yang sangat dasyat dan berteknologi tinggi. Oleh karena itu, menjadi pertanyaan sekaligus harapan, apakah di laut kita masih berjaya?
E.1. Pulau Berhala[16]
Berhala adalah salah satu pulau terluar yang terletak di Provinsi Sumatera Utara. Selain Berhala terdapat juga Pulau Simuk Wunga. Pulau Berhala menjadi sorotan pada tahun 2006 hingga 2007 karena pada saat itu tersebut terjadi penembakan, pengusiran atas nelayan Indonesia yang dilakukan Tentera Laut Diraja Malaysia. Perlakuan TDLM sangat tidak manusiawi yakni merusak rumpon dan jaring-jaring penangkap ikan, menabrak kapal-kapal nelayan bahkan melepaskan tembakan ke arah masyarakat sipil hingga terluka dan itu dilakukan di wilayah laut Indonesia.
Dalam keterangan pers TNI-AL Komando Armada Barat menyebutkan bahwa nelayan Indonesia ditangkap, perahunya ditabrak kemudian ditembaki.[17] Untuk mengamankan wilayah kedaulatan, tak urung operasi dilakukan di sekitar perairan Pulau Berhala dan Selat Malaka. Pada bulan September 2006, TNI-AL menangkap tiga kapal asing berbendera
Indonesia di dekat Belawan yang setelah diselidiki ternyata awak kapalnya berasal dari Taiwan.
Dalam hal ini, modus yang dilakukan para nelayan asing yakni memasang bendera Merah-Putih untuk mengelabui petugas di pelabuhan dan patroli laut. Buktinya, ditemukan berton-ton ikan tuna yang telah dibekukan di ketiga kapal tersebut. Penangkapan kapal asing ini juga disebabkan karena tidak dilengkapi dokumen dan Surat Ijin Berlayar serta memasuki wilayah perairan tanpa ijin.
Sesungguhnya, dibandingkan dengan kehidupan nelayan tradisional di Provinsi Sumatera Utara sangatlah menyedihkan. Selain nelayan asing, perompak juga menjelajahi daerah perairan Sumatera Utara. Di samping itu, wilayah perairan dikuasai kapal-kapal besar milik pengusaha dan oknum pejabat pemerintahan.
Pangkalan nelayan tradisional terdapat di kawasan Pantai Labu, Pantai Cermin, Deli Serdang Sumatera Utara.[18] Dengan mengandalkan jaring ikan berukuran kecil dan pancing serta bermodalkan perahu para nelayan harus memenuhi kebutuhan ekonominya yang semakin susah dan terjepit.
Dalam laporan Kompas, jika dulu mendapat 20 kg ikan campuran kini hanya 10 kg. Penyebab utamanya selain wilayah tangkapan makin jauh dari pantai, harus juga berebut dengan kapal-kapal ikan berukuran besar. Nelayan tradisional tidak dapat berbuat apa-apa, karena belum ada pengaturan soal kapling yang jelas antara daerah tangkapan nelayan tradisional dan areal penangkapan kapal besar milik pengusaha perikanan.
Di dekat perairan Pulau Berhala, sekitar 48 mil laut dari Pelabuhan Belawan terdapat 5 kapal bermuatan lebih dari 70 gross ton (GT) tengah menebar jaring. Alasan kapal-kapal menebar jaring dekat pelabuhan dan daerah nelayan tradisional adalah keamanan. Jika beroperasi di perairan Zona Ekonomi Eksklusif, sering terjadi perompakan. Bahkan pengakuan seorang kapten kapal, bahwa kapalnya pernah didatangi perompak bersenjata api. Selain mengambil ikan hasil tangkapan, mereka juga meminta uang tunai Rp. 1 juta.
Sesungguhnya, kapal di atas 30 GT harus melaut di wilayah ZEE. Oleh karena itu, upaya pemerintah daerah untuk melindungi wilayah nelayan tradisional sangat mutlak dilakukan. Apalagi nelayan tradisional merupakan bagian besar penggerak potensi sektor perikanan di Sumatera Utara.
Masalah Tata Ruang
Masalah lainnya tentang keberadaan Pulau Berhala, yakni klaim antarprovinsi yakni Jambi, Riau dan Sumatera Utara. Dalam keterangan Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin menyatakan bahwa Pulau Berhala disepakati masuk wilayah Provinsi Jambi. Padahal sengketa wilayah ini masih dibahas oleh Tim Departemen Dalam Negeri dan Komisi II DPR. Memang posisi Pulau Berhala berada di segitiga antartiga provinsi tersebut. Secara batas perairan, Selat Berhala melintasi tiga provinsi, namun dalam hal administrasi tetap berada di wilayah Sumatera Utara.
Selanjutnya, dalam pemaparan Tim Pemberdayaan Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan RI bahwa Pulau Berhala ditetapkan sebagai salah satu pulau terluar yang nantinya dibangun sarana wisata bahari, olahraga air dan penyelaman.[19] Ada dua titik pelabuhan yang bisa dijangkau menuju Pulau Berhala yakni melalui Belawan dan melalui Pantai Cermin, Sumatera Utara.
Jika melalui Pantai Cermin, maka kehidupan ekonomi masyarakat pesisir dapat digerakkan dari segi perhubungan laut dan peningkatan fasilitas pelabuhan. Tercatat ada sekitar 115.000 keluarga nelayan yang menggantungkan hidup dari melaut. Ribuan nelayan ini menggunakan perahu tanpa motor, motor tempel, jermal dan bagan tancap. Paling dominan perahu tanpa motor tercatat 12.162 unit dan sisanya sekitar 1000 unit perahu dengan motor tempel. Di samping Pulau Berhala, sebagaimana yang dijelaskan di atas Provinsi Sumatera Utara memiliki
Pulau Simuk dan Pulau Wunga sebagai pulau-pulau terluar.
E.2. Pulau Simuk
Simuk berada di tengah Laut Lepas dan memiliki penduduk sebanyak 1559 jiwa dengan luas sekitar enam kilometer persegi. Dalam daftar koordinat berada pada TD 164B dan TR 164. Rencana pemerintah untuk pulau yang berada pada 00º05’33” Selatan 097º 51’14” Timur adalah membangun sarana dan prasarana bantu navigasi serta menyiapkan pembangunan transportasi laut, pelabuhan, pendidikan dan pemanfaatan perikanan. Sebagaimana Pulau Berhala, Pulau Simuk seringkali didatangi nelayan asing.
E.3. Pulau Wunga
Wunga adalah pulau yang terletak di Laut Lepas dan berada pada posisi 01º12’47” Selatan - 097º 04’48” Timur. Meskipun tergolong lebih besar dari Pulau Berhala dan Pulau Simuk yakni sekitar sembilan kilometer persegi, penduduk di pulau ini datang secara musiman. Hal ini dilakukan karena daerah ini sangat jauh dan terpencil dari pusat kebutuhan masyarakat. Tercatat Pulau Wunga sebagai TD. 167 dan TR. 167 namun belum dilengkapi menara suar sebagai tanda fisik kehadiran negara sebagaimana pulau-pulau terluar lainnya.
Rekomendasi dan Saran
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara hendaknya memberikan dukungan finansial dan perlindungan bagi nelayan tradisional. Perebutan wilayah, gangguan keamanan di laut dan intrusi pihak asing dalam hal ini Tentera Laut Diraja Malaysia harus direspon serius dan ditangani dengan argumentasi hukum batas-batas wilayah. Di samping itu, ketersediaan sarana perlengkapan melaut harus ditingkatkan mengingat kampung nelayan di daerah pesisir Sumatera Utara.
Pemberian bantuan perahu motor dan penyediaan pangkalan minyak tanah atau BBM adalah upaya mengurangi penderitaan nelayan. Untuk kapal-kapal berbendera asing yang juga melakukan penangkapan harus ditertibkan sesuai mekanisme dan undang-undang. Nelayan harus mendapatkan prioritas utama dalam menjual hasil tangkapan laut dan memiliki traditional fishing area yang disepakati bersama.
Biasanya, traditional fishing area justru melampaui batas-batas fisik perairan antarnegara. Penyuluhan dan pembentukan jaring-jaring nelayan sebagai informan pertama di perbatasan merupakan usaha dalam mengurangi intensitas konflik dengan Malaysia. Bahkan, informasi nelayan dapat digunakan sebagai bukti dan penggalangan opini atau public opinion pelanggaran HAM yang dilakukan tentara Malaysia.
Dengan menyadari batas-batas laut dan penyediaan sarana penangkapan ikan, nelayan dapat meningkatkan produksi perikanan tangkap di daerah Sumatera Utara demi menunjang pembangunan dan kapasitas perikanan secara nasional. Untuk Pulau Wunga yang belum memiliki suar secepatnya agar Pemerintah RI membangun menara suar demi kepentingan fisik titik batas penarikan kedaulatan negara di perbatasan.
F.1. Pulau Fani
Pulau Fani berada di wilayah administrasi Kecamatan Ayau, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua. Pulau ini merupakan pulau terluar yang berbatasan dengan Republik Palau Pulau Fani dihuni sekitar 50 penduduk dengan luas wilayah sembilan kilometer persegi. Jarak ke Kota Sorong 220 kilometer dapat dicapai dengan kapal motor selama 35 jam. Penduduknya sering berinteraksi dengan negara tetangga seperti Papua New Guini, Selandia Baru, nelayan dari Thailand, Taiwan, Korea serta nelayan tradisional di sekitar perairan pulau-pulau Pasifik Barat. Oleh karena itu, perairan di sekitar Pulau Fani rentan kegiatan illegal fishing, tindakan effective occupation dan klaim oleh negara tetangga.
F.2. Pulau Fanildo
Pulau Fanildo berada di wilayah Kecamatan Supiori Utara, Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua. Pulau ini merupakan kesatuan gugusan Pulau Mapia,[20] dan termasuk salah satu pulau tak berpenghuni yang berbatasan dengan Republik Palau. Luas Pulau Fanildo sekitar 0,1 kilometer persegi yang sekelilingnya merupakan pantai berpasir dan hamparan terumbu karang. Jaraknya dengan ibu kota Biak Numfor terbentang sejauh 280 kilometer. Untuk mencapai pulau dapat menggunakan pesawat udara dan kapal laut rute Jakarta-Biak-Mapia. Sama halnya dengan Pulau Fani, Pulau Fanildo rawan akan kejahatan illegal fishing dan effective occupation oleh negara tetangga.
F.3. Pulau Bras
Pulau Bras termasuk Kecamatan Supiori Utara, Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua. Letaknya di ujung utara Kepulauan Mapia[21] sehingga berbatasan langsung dengan Republik Palau. Luas pulau Bras sekitar 3,375 kilometer persegi. Jarak Pulau Bras dengan Kabupaten Biak Numfor 280 kilometer dan dengan Pulau Supiori 240 kilometer. Pulau Bras dihuni sekitar 50 jiwa penduduk dalam satu ikatan kekerabatan sehingga pulau ini dianggap sebagai warisan adat keluarga tersebut.
Mata pencaharian penduduk mencari ikan dan membuat kopra sebagaimana orang-orang Sangir di Kepulauan Sangihe dan Talaud. Meskipun sangat potensial untuk pengembangan wisata bahari karena terdapat terumbu karang yang indah, Pulau Bras termasuk pulau yang rawan abrasi dan rawan illegal fishing serta effective occupation oleh negara tetangga.
Mengingat kerawanan di Kepulauan Mapia sangat tinggi, pemerintah menempatkan Pos Pasukan Marinir yang berjaga di Pulau Fani dan Fanildo. Dalam laporan Tim Departemen Kelautan dan Perikanan RI bahwa keberadaan pasukan Marinir di pulau-pulau tersebut sangat membantu dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat adat setempat. Pasukan Marinir membuat dermaga apung, sanitasi lingkungan serta mendirikan Pos Jaga sehingga memudahkan dalam melakukan patroli laut. Bagi nelayan setempat, dermaga apung sangat berguna untuk menambatkan perahu dari terjangan ombak dan angin kencang.
Meski demikian, keberadaan pasukan Marinir di pulau-pulau tersebut mendapat tantangan tersendiri. Serangan malaria merupakan salah satu ancaman bagi para penjaga batas negara tersebut.[22] Para prajurit sangat rentan terkena malaria meski dalam kurun waktu 6 bulan diadakan rotasi. Jumlah pasukan Marinir di setiap pulau-pulau terluar yakni 1 peleton atau 34 personil.
Selain tiga pulau di atas, di Provinsi Papua terdapat juga enam pulau terluar yakni: Pulau Budd, Pulau Miossu, Pulau Bepondi, Pulau Liki, Pulau Kelepon, Pulau Laag, Pulau Ararkula dan Pulau Karaweira.
F.4. Pulau Budd & Pulau Miossu
Pulau Budd berbatasan perairan dengan Negara Kepulauan Palau, terletak pada posisi 00º32’08” Utara 130º 43’52” Timur. Luas pulau sekitar 0,6 kilometer persegi dan sangat terpencil serta jauh dari jangkauan penduduk. Di samping itu, Pulau Budd tidak memiliki suar sebagaimana Pulau Fani, Pulau Miossu dan Pulau Liki. Dalam daftar koordinat tercantum pada TD. 065 dan TR. 065. Sama halnya Pulau Budd, Pulau Miossu berbatasan dengan Negara Kepulauan Palau dan terletak pada posisi 00º20’16” Utara 132º 09’34” Timur. Luas pulau Miossu sekitar 0,84 kilometer persegi. Di ini sudah terpasang menara suar dan tercantum sebagai TD. 070 dan TR. 070.
F.5. Pulau Bepondi & Pulau Liki
Pulau Bepondi dan Pulau Liki berbatasan perairan dengan Negara Kepulauan Palau. Pulau Bepondi berada pada posisi 00º23’38” Utara 135º 16’27” Timur, sedangkan Pulau Liki terletak pada posisi 01º34’26” Selatan-138º 42’57” Timur. Luas Bepondi 2,5 kilometer persegi dan berpenduduk sekitar 878 jiwa. Di samping itu, pulau ini tidak memiliki suar dan tercantum sebagai TD. 074 dan TR. 074. Lain halnya dengan Pulau Bepondi, Pulau Liki yang luasnya sekitar enam kilometer sudah dilengkapi suar dan juga dihuni oleh sekitar 300 jiwa penduduk. Pulau Liki memiliki menara suar dan tercantum sebagai TD. 079 dan TR. 079. Kedua pulau ini memerlukan penanaman pohon pelindung dari ancaman angin kencang dan badai serta peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, perkebunan dan perikanan.
F.6. Pulau Kolepon & Pulau Laag
Pulau Kolepon dan Pulau Laag berbatasan perairan dengan Austalia. Luas Pulau Kolepon 11,6 kilometer persegi dan berada di posisi 08º12’49” Selatan-137º 41’24” Timur. Pulau Laag yang hanya berukuran 1 kilometer persegi ada di posisi 05º23’14”Selatan-137º43’07”Timur. Kedua pulau yang terpencil ini tidak dipasang suar padahal Pulau Kolepon tercantum sebagai TD. 088E dan TR. 088 dan Pulau Laag merupakan titik koordinat TD. 092 dan TR. 092. Pulau Kolepon berpenduduk dan Pulau Laag tidak dihuni penduduk. Kondisi Pulau Kolepon apabila terjadi pasang surut dapat mencapai sekitar 6 meter sedangkan Pulau Laag ditumbuhi pinus dan cemara serta daerahnya berpasir sekaligus berawa.
Rekomendasi dan Saran
Pulau-pulau di kepulauan Mapia dan Provinsi Papua memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan. Selain dapat dijadikan pangkalan apung dan transit, wilayah perairan ini memiliki potensi taman laut yang begitu luas. Banyak titik penyelaman menjanjikan panorama bawah laut sebagai surganya ikan-ikan hias laut. Di samping itu, wilayah ini merupakan tempat pertemuan arus laut yang membawa ikan-ikan besar melimpah-ruah sehingga banyak perusahaan perikanan asing melakukan penangkapan di daerah sekitarnya. Oleh karena itu, diperlukan pengawasan pemerintah dan upaya memberlakukan pin register bagi setiap kapal-kapal penangkap ikan dalam wilayah perairan nasional. Kontrol yang ketat akan mengurangi tindakan illegal fishing yang sangat merugikan negara maupun mencegah klaim okupasi oleh negara lain atas pulau-pulau tersebut.
>>>>> Referensi Bacaan
“Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Kawasan Perbatasan Maritim”. Bappenas. 2003.
“Patkor Indindo: Sebuah Kerjasama dan Harapan”. Majalah Jalakaca. Edisi 10 Tahun 2007. Hal 71-72.
“Dokumen Persetujuan Antara Pemerintah RI, Repulik India dan Kerajaan Thailand tentang Penetapan Titik Pertemuan Tiga Garis Batas dan Penetapan Garis Batas Ketiga Negara di Laut Andaman” 22 Juni 1978.
Melalatoa, Junus. “Saudara Sebangsa Setanah Air di Pulau-Pulau Kecil.” Balai Pustaka. 1996.
“Mengintip Satgas Marinir di Pulau Terluar”. Majalah Marinir No. 144 November 2006.
Rekaman Berita TV : Pernyataan Panglima Komando Armada Barat Laksda TNI Muryono tentang Penangkapan Nelayan Asing di dekat Pulau Berhala, November 2006.
Focus Group Discussion “Ocean Policy & Pengelolaan Perbatasan Laut Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Sub tema Pulau Berhala.” Presentasi Ir. Reflus, Departemen Kelautan dan Perikanan RI. Selasa 20 November.
“Latihan Gabungan Tempur Laut Singapura Aliansinya Di Perairan Anambas-Natuna”. Majalah Jalakaca. Edisi 10 Tahun 2007. Hal 16-17
Departemen Pertahanan Republik Indonesia. “Strategi Pertahanan Negara”. Jakarta. 2007
Departemen Pertahanan Republik Indonesia. “Buku Putih Pertahanan Indonesia”. 2008
Korano Nicholash LSM. “Energi: Kenapa Tak Mencoba Tenaga Angin?” Harian Kompas. Jakarta. Jumat 14 Desember 2007.
Kolonel Laut Sugianto, SE. “Patroli Udara Maritim: Mengawasi Pulau-Pulau Kecil Perbatasan”. Majalah Jalakaca. Edisi 10 Tahun 2007. Hal 20-21
Widi A. Pratikto. “Menggapai Kejayaan Bahari”. Majalah Gatra. Edisi khusus No.08 Tahun XII. Januari 2006. Hal 106
“Perompakan sebabkan Nelayan Tradisional di Sumut Terjepit.” Kompas, 3 Februari 2004.
“Sengketa Pulau Berhala Belum Rampung.” Kompas, 30 November 2007.
“Terhalang Reklamasi Pulau Nipah” Suara Bahari Edisi 37/Tahun III/1-15 Juli 2005
“Telkom Bangun Infrastruktur di Pulau Terluar”. Kompas, 12 November 2007.
“Anggaran Pertahanan”. J. Danang Widoyoko- Indonesian Corupption Watch.
[1] Paska Perang Dingin tahun 1990-an, kekuatan negara-negara di Asia-Pasifik lebih meningkatkan armada kekuatan laut. Hal ini merupakan strategi untuk menguasai sumber-sumber energi di laut.
[2] Pembahasan Pulau Miangas, Pulau Marore, Pulau Marampit dan Pulau Batek terdapat dalam Jilid I Archipelagic State: Tantangan dan Perubahan Maritim, pada bagian IV, V, VII dan IX.
[3] Catt. Proses inilah yang menjadikan India maju sebagai negara middle power yang memiliki jutaan tenaga kerja dan pabrik produksi media komputer terbesar setelah AS dan Cina.
[4] Di tahun 2007 Kerjasama Patroli India-Indonesia dilaksanakan pada bulan Maret dan September. Majalah Jalakaca, Edisi 10 2007 hal 71-72.
[5] Lihat “Orang Simeulu” dalam Junus Melalatoa. “Saudara Sebangsa Setanah Air di Pulau-Pulau Kecil.” Balai Pustaka. 1996.
[6] Pasal 1dari Persetujuan Antara Pemerintah RI, Repulik India dan Kerajaan Thailand tentang Penetapan Titik
Pertemuan Tiga Garis Batas dan Penetapan Garis Batas Ketiga Negara di Laut Andaman 22 Juni 1978.
[7] Data Bappenas menunjukkan telah disusun Rencana Induk Pengelolaan Perbatasan Negara di NAD berdasarkan Peraturan Presiden No 39 Tentang RKP (Rencana Kerja Pemerintah)Tahun 2006.
[8] Pembahasan lain yang berkaitan dengan Pulau Nipa terdapat dalam Jilid I Archipelagic State: Tantangan dan
Perubahan Maritim, pada bagian XI berjudul Identitas RI dan Reklamasi Singapura.
[9] Proyek reklamasi Singapura telah merusak ekosistem laut, terumbu karang dan pulau-pulau di Kepulauan Riau diantaranya: Pulau Sebaik, Pauh Sugi, Citlim, Pulau Bintan; Trikora, Lobam, Gunung Kijang, Senggarang dan Pulau Telang Kijang.
[10] Pembahasan lebih mendalam berkaitan DCA dan SEZ terdapat dalam Jilid III Archipelagic State: Tantangan dan Perubahan Maritim. Bagian Kedua Puluh Satu dengan judul : DCA-SEZ: Kontroversi Perjanjian RI-Singapura.
[11] “Telkom Bangun Infrastruktur Pulau Terluar”. Kompas, 12 November 2007.
[12] Catt. Penulis: Pembangunan di Singapura khususnya Sentosa Island memerlukan pasokan pasir yang cukup besar. Hal ini di dasari amatan langsung pada kunjungan ke Singapura, 20-23 Juni 2007.
[13] Catt. Apalagi DCA Indonesia-Singapura yang ditandatangani di Istana Tampak Siring Bali 27 April 2007 batal di tengah jalan karena masing-masing pihak tidak mau melakukan revisi dan pembahasan secara teknis dan penolakan DPR-RI atas rencana Pemri untuk meratifikasinya.
[14] Para pengamat militer dalam negeri keberatan apabila isi perjanjian DCA mengijinkan Singapura melakukan uji coba tembakan rudal sebanyak empat kali dalam setahun. Selanjutnya bisa dilihat pada Lampiran
[15] Lihat, “Latihan Gabungan Tempur Laut Singapura dan Aliansinya di Perairan Anambas-Natuna.” Majalah Jalakaca, Edisi 10 2007 hal 71-72.
[16] Pulau Berhala berbatasan laut dengan Malaysia. Letaknya berada pada 03º46’38” Selatan - 099º 30’03” Timur. Sedangkan TD 184 dan TR 184. Pulau Berhala sering disinggahi nelayan tetapi termasuk kategori tempat terlarang yang rawan kejahatan bahkan pernah ditemukan berbagai jenis amunisi di daerah ini.
[17] Pada bulan September 2006, dua nelayan Indonesia ditembak di Perairan dekat Pulau Berhala.
[18] Kompas, 3 Februari 2004. Perompakan sebabkan Nelayan Tradisional di Sumut Terjepit
[19] Pemaparan Ir. Reflus. Staf Departemen Kelautan dan Perikanan RI dalam Fokus Grup Diskusi tentang Pulau Berhala, Jakarta. November 2007.
[20] Dalam laporan Tim Departemen Kelautan RI, bahwa jika air surut maka gugusan Pulau Fanildo dan Pulau Bras bisa diseberangi dengan berjalan kaki mengitari kedua pulau tersebut.
[21] Menurut cerita masyarakat setempat nama Pulau Mapia berasal dari para nelayan Sangir (Sulut) yang berarti “Baik”. Memang secara alamiah, di Kepulauan Mapia terdapat banyak ikan dengan keanekaragaman pesona laut dan dapat menjadi tempat yang baik untuk berteduh bagi nelayan-nelayan di perairan tersebut.
[22] Personil Marinir Penjaga Perbatasan Diserang Malaria, pernyataan Komandan Pasukan Marinir I Wilayah Timur Brigjend TNI (Mar) Arie Suherman.
2 comments:
Pulau terluar perlu diperhatikan terutama masalah telekomunikasi transportasi dan listriknya jika tidak bisa-bisa direbut oleh pihak asing.
info Pulau Sekatung di www.sekatung.co.cc
Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kbagi.com untuk info selengkapnya.
Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)
Post a Comment